Dalam Gamang Abu – Abu

Dulu sewaktu aku kecil, sambil melempar gigiku yang tanggal ke genteng tetangga, aku pernah berpikir kalau waktu dewasa nanti kita akan terpilih untuk menjadi orang baik atau orang jahat. Persoalan akhlak semudah seperti orang memilih gula atau garam di pasar. Kalau kita sudah jadi orang baik, maka semua amal perbuatan kita benar dan patut dicontoh macam pahlawan revolusi yang gambarnya dipajang di dinding kelas. Jadi aku menganggap bahwa semua perkataan ayah, ibu, guru kelas enamku, guru kelas limaku, guru ngaji, guru les bahasa inggris, penjual cimol, penjual es wawan, penjual es di warung depan rumah, dan semua orang dewasa yang wajahnya kelihatan baik itu benar adanya, shahih sifatnya. Mereka semua adalah teladan nomor satu.

Sayangnya umur membuka tabir segalanya. Orang – orang sama sekali tidak terbagi menjadi hitam dan putih, tapi berlapis – lapis gradasi warna abu – abu dengan sejengkal perbedaan. Tidak ada yang mutlak benar atau salah dan itu membuatku sadar bahwa semua perkataan ayah, ibu, guru kelas enamku, guru kelas limaku, guru ngaji, guru les bahasa inggris, penjual cimol, penjual es wawan, penjual es di warung depan rumah, dan semua orang dewasa yang wajahnya kelihatan baik itu juga belum tentu benar. Masalahnya aku jadi tidak tahu harus kemana atau aku ini apa, abu – abu terang atau gelap.

Kalau aku cukup pandai, mungkin aku sudah menciptakan mesin penentu kebenaran. Jadi ada sesuatu yang memberitahu orang – orang dan juga aku apakah kita sudah melakukan hal – hal yang benar dan seharusnya atau belum. Sayangnya mesin penentu kebenaran itu saat ini hanya sebatas otak manusia. Dunia sendiri dipenuhi oleh perbedaan – perbedaan pendapat yang benar menurut masing – masing orang, walaupun aku yakin pendapat adalah sesuatu yang juga relatif terhadap waktu. Aku terkadang gamang apakah aku telah menentukan pilihan yang tepat untuk hidupku. Bahkan yang lebih mendasar, seperti apakah yang benar itu? Bagaimana cara kita mengukur mana yang benar atau salah?

Aku sangat mencoba untuk tidak men-judge seseorang. Jika aku tidak menyukai kelakuan seseorang, otakku langsung berlari dan berbisik, “Oh, mungkin aku hanya tidak suka warnanya, bukan berarti orang itu buruk.” Jauh lebih mudah bagiku untuk memaklumi kekurangan orang lain daripada menerima sebuah pernyataan bahwa tidak apa – apa kalau diriku tidak sempurna. Apa aku sudah cukup baik? Tidak ada satu pun mesin yang dapat memberitahuku. Lantas aku menjadikan keberhasilan orang lain menjadi tolak ukurku dan hal itu malah menggiringku ke pertanyaan, “Apakah aku sudah sebaik orang itu?” Seringnya aku merasa bukan apa – apa lalu mengerut seperti cabai kedinginan dan berhenti melakukan sesuatu.

Jadi sambil berjalan, ku pikir ini bukan lagi masalah benar atau salah, tetapi bagaimana kita bisa menikmati setiap detik yang ada dan the bittersweet of our choice. Memilih hal – hal yang akan atau tidak akan kita lakukan dan tidak menyesalinya, sepanjang itu tidak merugikan orang lain dan melanggar kitab agama. Apakah pendapatku benar, aku tidak tahu. Mungkin umur akan membuka tabirnya sekali lagi.