Comot Karya, Comot Hak Cipta

Sebagai content creator, masalah copyright menjadi sebuah isu penting. Dengan mudahnya akses internet dan adanya teknologi editing yang canggih, menjadikan proses “pencurian” karya dapat dilakukan dengan mudah. Sudah banyak creator yang menjadi korban pencurian ini.

Ada beberapa tingkat kejahatan pencurian karya yang sering terjadi. Mulai dari yang melakukan repost di media sosial yang jangankan mencantumkan credit, meminta izin pun tidak dilakukan hingga ada pula yang mengaku – ngaku karya milik orang lain sebagai hasil olah pikirnya. Bahkan tidak jarang yang melakukan komersialisasi karya orang tanpa adanya kesepakatan bagi untung. Mencantumkan nama pada karya pun tidak bisa mencegah perilaku pencurian sebab si pelaku umumnya menghapus credit pada karya tersebut.

Tentunya kejahatan pencomotan karya ini sangat merugikan creator asli yang sudah jatuh bangun berpikir dan berkreasi untuk menciptakan suatu karya. Banyak hal yang direnggut dari sang creator apabila terjadi proses pencomotan seperti itu, antara lain apresiasi yang layak dia terima atas karya yang telah diciptakannya. Bagi content creator, sekedar komentar “bagus!” dari netizen sangatlah berarti. Kedua, rekognisi dan networking yang dia butuhkan agar tetap bisa bertahan dalam industri kreatif. Dengan tidak dikenalnya ia sebagai empunya sebuah karya, maka si creator akan kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan orang – orang  yang tertarik terhadap karyanya. Yang tak kalah pentingnya adalah masalah UANG yang seharusnya si creator dapatkan atas penggunaan karyanya. Jaman sekarang banyak orang menjadikan content creator sebagai pekerjaan utama dan dengan adanya penggunaan karya “secara gratis” tentu bisa disamakan dengan pencurian terhadap sumber penghasilan si creator. Namun hal yang paling mendasar adalah, rasa sedih yang dirasakan creator tersebut karena karyanya dikenal dan digunakan tanpa orang tahu siapa pembuat aslinya.

Saya sendiri pernah mengalami kasus pencomotan karya seperti ini. Pada tahun 2016, saya membuat sebuah ilustrasi untuk poster undangan ke sebuah acara teater. Poster tersebut diunggah pagi hari dan pada malam harinya saya mendapat pesan dari senior saya, menanyakan apakah saya “mengambil” ilustrasi yang saya gunakan di poster tersebut. Saya pun terkejut, bagaimana bisa senior saya berpikir seperti itu. Lantas, saya mengirimkan hasil scan sketsa ilustrasi saya yang belum diwarnai sebagai bukti bahwa karya tersebut memang saya buat sendiri. Senior saya lalu menunjukan sebuah postingan di facebook yang menggunakan ilustrasi yang saya buat sebagai cover album. Saya yang sama sekali tidak tahu, merasa terkejut dan bingung.