“Jadilah mata air jernih yang memberikan kehidupan kepada sekitar. Jadilah anak muda yang produktif, sehingga menjadi pribadi yang profesional dengan tidak melupakan dua hal, yaitu iman dan takwa.” – BJ Habibie.
Bacharuddin Jusuf Habibie, meminjam ungkapan Najwa Shihab, BJ Habibie merupakan pribadi istimewa nan langka. Tidak hanya untuk Indonesia, namun bagi ilmu pengetahuan, agama, dan orang-orang terdekatnya. Sosok yang telah memberikan teladan istimewa bagi generasi emas Indonesia. Sosok cendekia dengan sikap rendah hati yang amat memesona. Sosok yang membuktikan adanya cinta sejati dalam kehidupan insan.
Lahir pada 25 Juni 1936 di Parepare, sosok Habibie dibesarkan dalam keluarga yang religius dan menjunjung tinggi dunia pendidikan. Ayahnya bernama Alwi Abdul Jalil Habibie dan sang ibunda bernama R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Sejak kecil, kecerdasan BJ Habibie sudah terlihat. Dalam buku biografi berjudul “Mr. Crack dari Parepare” dijelaskan ketika BJ Habibie duduk di bangku sekolah menengah, ia mahir dalam menyelesaikan soal-soal rumit fisika, sementara teman-temannya yang lain gagal dalam merumuskan soal-soal tersebut.
Singkat cerita, BJ Habibie sukses menginjakkan kaki di Aachen untuk melanjutkan studi lanjutnya. Di negeri orang, ia belajar dengan giat dan di umur 21 tahun, BJ Habibie muda menggagas acara Seminar Pembangunan. Saat itu, ia diangkat menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Aachen. Tepatnya, pada tahun 1958, tercetuslah gagasan besar BJ Habibie mengenai penyelenggaraan Seminar Pembangunan bagi seluruh mahasiswa yang belajar di Eropa.
Terdengar “gila” karena acara semacam itu belum pernah ada sebelumnya di kalangan PPI, apalagi mahasiswa Indonesia sebagai penyelenggara. Namun, kemauan kuat Habibie mengantarkannya pada sebuah perjuangan guna merealisasikan seminar tersebut. Masalah yang timbul adalah persoalan dana. Pasalnya, Kongres Pemuda sebelumnya yang diselenggarakan oleh Chairul Saleh dan teman-temannya ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Indonesia, sementara seminar gagasan BJ Habibie ini harus swadana. Pada saat itu, BJ Habibie sudah berumur 21 tahun, calon insinyur pula. Ia digoda oleh mereka yang lebih tua bahwa tidak mudah untuk menyelenggarakan seminar besar seperti harapan BJ Habibie.
Mendengar itu, BJ Habibie tidak mundur begitu saja, namun semangatnya semakin membara. Akhirnya, diputuskanlah untuk meminjam uang ke beberapa perusahaan di Jerman. Hasil perjuangan BJ Habibie beserta segenap panitia pun berbuah manis. Seminar pembangunan seluruh mahasiswa dan pelajar se-Eropa ini berjalan dengan sukses di Hamburg-Barsbuttel dari tanggal 20 sampai 25 Juli 1959, namun, saat seminar berlangsung, BJ Habibie tidak dapat hadir karena dirinya terbaring sakit.
Ketika sakit, BJ Habibie benar-benar dalam kondisi yang kritis. Bahkan, ia sempat dimasukkan ke dalam kamar mayat, namun, semangat hidupnya tinggi, hingga Tuhan izinkan BJ Habibie untuk sembuh. Dalam masa pembaringan ketika merenung, di situlah ia menciptakan sebuah curahan hati berbentuk sajak.
SUMPAHKU !!!
“Terlentang!!!
Dijatuh! Perih! Kesal!
Ibu Pertiwi
Engkau pegangan
Dalam perdjalanan
Djanji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku
Makmur dan sutji
…………..
…………..
…………..
Hantjur badan
Tetap berdjalan
Djiwa besar dan sutji
Membawa aku,………….. padamu!!!
Dalam sajak ini terlihat bahwa BJ Habibie mengabadikan perasaan tak terlupakan berupa pengabdiannya kepada tanah air. Ada tekad dan kepasrahan untuk membangun bangsanya, tidak hanya mencapai kemakmuran, tetapi juga suci yakni bersih dari segala hal yang tercela. Dari sini terlihat pula, sejak muda, BJ Habibie tak pernah lelah mencintai bangsa Indonesia.
Ini hanya secuil kisah inspiratif dari salah satu manusia favorit penulis artikel ini. Dari kisah di atas, kita bisa meneladani sosok dengan cinta yang penuh dan utuh. Pesannya untuk menjadi mata air yang jernih, menyiratkan pada pribadi yang telah selesai dengan dirinya sendiri dan memiliki ketenangan dalam hatinya, sehingga ia bisa memberikan keteduhan juga kehidupan bagi sekitar yakni kebermanfaatan yang luas.
Pesannya untuk menjadi pemuda yang produktif, patut untuk direalisasikan. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah,
“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil.”
Apabila menjadi pribadi yang produktif dan mengerjakan amanah sepenuh hati, terbentuklah pribadi yang profesional. Muslim profesional di era sekarang, sulit ditemui, mudah-mudahan para PM Baktinusa nantinya akan menjadi seorang profesional yang amanah lagi rendah hati. Pesan Eyang Habibie juga, janganlah melupakan dua hal yakni iman dan takwa. Bagaimanapun juga, Allah-lah yang perlu diprioritaskan agar waktu-waktu yang dilalui diberkahi-Nya.
Bagaikan berlian mahal yang langka ditemui, beruntungnya seorang anak muda yang dapat meresapi pesan dari Eyang Habibie tersebut. Ia akan menjadi pribadi yang bersinar tanpa melupakan Tuhannya di setiap langkah hidup. Meminjam ungkapan Ahmad Tohari, mengenai “mata yang enak dipandang”. Selain menjadi hebat dengan melangitkan potensi seperti Eyang Habibie, tak ada salahnya juga mencoba menjadi seseorang dengan “mata yang enak dipandang”. Apa itu mata yang enak dipandang? Mata-mata yang enak dipandang adalah mata-mata yang penuh welas asih dan simpatik. Jadi, maukah kamu menjadi seseorang dengan mata yang enak dipandang itu, Leaders?
Terakhir, penulis mengajak seluruh pembaca agar melangitkan doa. Mudah-mudahan Allah berkenan mengampuni dosa-dosa Eyang Habibie dan Ibu Ainun. Semoga ditempatkan-Nya Eyang Habibie juga Ibu Ainun di sisi terbaik-Nya. Semoga pula amal ibadah Eyang Habibie dan Ibu Ainun diterima-Nya. Juga, mudah-mudahan kita semua mampu menjadi generasi yang memiliki semangat juang dan ketulusan hati minimal seperti Mr. Crack dari Parepare ini. See you in the next writing, Leaders! Insyaallah!