Bisakah Generasi Z membeli rumah?
Ini adalah pertanyaan yang sering kita dengar belakangan ini. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dengan generasi Z pada umumnya. Sebelum membicarakannya lebih lanjut, saya ingin berbagi keresahan saya denganmu.
Akhir-akhir ini, saya banyak merenung dan merefleksikan diri saya tentang apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia di planet ini, dalam dua sampai lima tahun ke depan. Khususnya, untuk generasi Z yang lahir antara 1995-2010, termasuk saya.
Umumnya, manusia dilahirkan, tumbuh dewasa, belajar di universitas, lulus, memulai hidup baru dengan pasangannya, bekerja, pensiun, dan mati. Tentu, Karena tidak ada yang bisa hidup selamanya di dunia ini. Tapi, menjadi pertanyaan besar, bagaimana kehidupan kita di masa depan? Akankah menjdadi lebih baik daripada kehidupan orang tua kita saat ini?
Sebagian besar orang memulai kehidupan baru mereka setelah lulus kampus pada usia 22 tahun. Kemudian, mereka bekerja untuk perusahaan atau institusi. Mereka akan mendapatkan uang karena usaha yang dilakukan. 10 tahun selanjutnya dalam jenjang karir mereka, pendapatan akan bertambah. Hal ini disebabkan karena adanya promosi jabatan, reputasi posisi, apresiasi dari perusahaan, dan masih banyak lagi. Itu akan terjadi lagi dalam 10 tahun, dan 20 tahun berikutnya. Selain itu, gaya hidup mereka juga meningkat. Dan pada usia 55 tahun, apa yang terjadi secara alami jika mereka memilih untuk pensiun dari pekerjaan? Nah, penghasilannya akan menurunurun. Namun sayangnya, biaya hidup terus konstan. Bahkan akan bertambah.
Saya terkejut dengan data yang dipublish oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS (BLS), dikatakan bahwa di Amerika sudah tidak mungkin untuk membiayai kebutuhan hidup dengan dua anak dengan hanya bekerja penuh waktu dengan upah minimum regional. Juga fakta bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika, generasi sekarang memiliki standar kehidupan yang lebih rendah daripada standar hidup orang tua mereka. Kita semua tahu bahwa Amerika sebagai negara adidaya, tetapi ini adalah fakta yang telah terjadi. Bagaimana dengan Indonesia? Kamu tahu lebih banyak.
Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia BPS), persentase penduduk miskin pada September 2018 berjumlah 25,67 juta (9,66%), dan yang dimaksud miskin di Indonesia adalah ketika sebuah keluarga memiliki penghasilan tidak lebih dari Rp. 410.670 per kapita per bulan. Selain itu, Detik Finance melaporkan bahwa 10.000 pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan telah terjadi dalam 4 bulan terakhir. Selain itu, Tempo mengatakan bahwa jumlah korban pemutusan hubungan kerja diperkirakan akan meningkat sekitar 10.000 orang dalam 4 bulan ke depan. Diperkirakan lebih dari 20.000 pekerja akan kehilangan pekerjaan mereka di tahun 2019 ini. Suka atau tidak suka, itu adalah fakta dan keadaan hebat yang harus kita hadapi.
Kembali ke pertanyaan pertama, Bisakah Generasi Z membeli rumah?
Mari kita terus menyimak tulisan ini.
Fresh gradute datang ke industri ketika kekacauan ekonomi sedang terjadi. Realita kehidupan menjadi lebih sulit dari hari ke hari. Akan berbahaya jika kita tidak mempersiapkannya dengan baik. Misalnya untuk memiliki rumah, kita harus menyiapkan setidaknya 1 miliar rupiah jika kita ingin membeli rumah di dan dekat Jakarta, ibu kota. Tapi, akan sedikit berbeda jika kita ingin membeli di Karanganyar, Jawa Tengah, setidaknya menyiapkan sekitar 400 juta rupiah. Tentu, akan sangat sulit jika kita menginginkannya tanpa kematangan finansial. Sangat menakutkan, bukan?
Jika kita hanya bergantung pada gaji atau pemasukan normal, mungkin kita mungkin kita bisa membelinya, tetapi itu membutuhkan waktu yang sangat lama, dan kita tidak tahu apakah kita masih hidup atau tidak di kemudian hari. Tidak ada pilihan kecuali memulai bisnis sesegera mungkin. Gaji kita di masa depan tidak pernah dapat menutupi kebutuhan hidup dan harga satu unit rumah. Pilihlah bisnis yang tepat untuk kamu. Buat nilai tambah, bangun sistem yang kuat, buka cabang, dan biarkan kamu terbang bersama bisnis telah kamu usahakan.
Ditulis oleh
Muhammad Yahya Ayyasy Alhaafizh, PM BAKTI NUSA 8 Solo, True Health Consultant