Oleh: Agung Pramudio
Dalam kehidupan sehari-hari, kemiskinan adalah sesuatu yang nyata adanya dalam masyarakat. Orang-orang miskin tidak hanya ada di negara berkembang saja, namun juga ada di negara- negara maju. Dengan demikian masaIah kemiskinan ada di dunia ini, baik di negara-negara maju, maupun negara-negara berkembang seperti Indonesia. Baru-baru ini, badan pusat statistic mengeluarkan angka tingkat kemiskinan di Indonesia. Secara nasional, jumlah penduduk miskin di kota Indonesia mencapai angka 9,99 juta orang. Sedangkan, didesa mencapai angka 15,15 juta orang penduduk miskin.
Secara kasat mata, jumlah penduduk miskin memang sedikit jika dibandingkan dengan total jumlah penduduk di Indonesia. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, ukuran seperti apakah yang dipakai oleh BPS dalam mengukur kemiskinan. Fakta mengatakan bahwa BPS menggunakan garis kemiskinan dengan level Rp. 425.250 Per bulan dengan definisi Rp.313.232 komposisi makanan dan Rp. 112.018 komposisi bukan makanan.
Level tersebut tentu sangat berbanding jauh dengan angka yang telah ditetapkan dunia yaitu 62 dollar per bulan. Yang artinya jikalau dikonfersikan kedalam rupiah menjadi Rp. 930.000. Pertanyaan selanjutnya adalah sudah tepatkah ukuran tersebut ?.
BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan dan non-pangan yang diukur dari sisi pengeluaran. Singkat kata, penduduk miskin di Indonesia, kata BPS, adalah “penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.” Namun, pendekatan menggunakan pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan satu-satunya cara menghitung kemiskinan di Indonesia. Dalam laporannya (PDF), CIFOR (Center for International Forestry Research) menjelaskan bahwa selain metode BPS, ada dua cara lain yang bisa dipakai sehubungan dengan mengukur angka kemiskinan.
Metode pertama adalah model kesejahteraan keluarga. Pelaksana model ini adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Tidak seperti BPS, yang dalam melaksanakan perhitungannya condong ke perkara finansial, BKKBN lebih melihat penentuan kemiskinan dari segi kesejahteraan dengan keluarga sebagai subjek utama surveinya. Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN membuat program yang dinamakan “Pendataan Keluarga.” Pendataan Keluarga dilakukan oleh BKKBN setiap tahun sejak 1994. Pendataan keluarga dilakukan dengan tujuan memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Pendataan itu menghasilkan empat jenis kelompok data: demografi (jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin), keluarga berencana (Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB), tahapan keluarga sejahtera, serta data individu (nomor identitas keluarga, nama, sampai alamat). Dari data tersebut, BKKBN kemudian diambil jenis data tahapan keluarga sejahtera guna menentukan tingkat kemiskinan. Setelah terkumpul dan direkapitulasi, maka muncul lima varian data kemiskinan versi BKKBN, yaitu: Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin), Keluarga Sejahtera I (miskin), Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III, dan Keluarga Sejahtera III plus.
Model selanjutnya adalah model pembangunan manusia. Pendekatan ini diprakarsai oleh UNDP (lembaga PBB untuk program pembangunan). Laporan mengenai “Pembangunan Manusia” atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) pertama kali disusun pada 1990 dan telah dikembangkan lebih dari 120 negara. Pemerintah Indonesia lewat Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) turut mengembangkan model ini. HDR merupakan konsep yang memandang pembangunan secara lebih komprehensif, di mana pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Menurut konsep ini, pembangunan manusia pada dasarnya memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat seperti kemampuan hidup panjang umur dan sehat, mendapatkan pendidikan, memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup layak, kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia, dan penghormatan secara pribadi. Laporan HDR memuat penjelasan tentang empat indeks: Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), Indeks Pembangunan Gender (Gender Development Index), Langkah Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measure), dan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index).
ertanyaannya: metode apa yang dirasa paling ideal untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia? CIFOR, masih dalam laporannya, menilai alih-alih menentukan model apa yang ideal untuk Indonesia, alangkah lebih baik mencari solusi bagaimana ketiga model ini adaptif terhadap situasi riil masyarakat. Pasalnya, tak jarang ketiga metode tersebut masih menganggap seluruh wilayah Indonesia punya satu kesamaan sehingga cara menghitung kemiskinannya pun juga disamaratakan. Misalnya, mengukur kemiskinan dari lantai rumah yang terbuat dari tanah sebagai indikator kesejahteraan BKKBN. Kenyataannya, tidak semua daerah, contoh di sejumlah tempat masyarakat adat di Kalimantan, memanfaatkan tanah untuk jadi lantai rumah. Penilaian yang serampangan juga terlihat kala BPS tidak memasukkan sagu ke dalam daftar survei konsumsi makanan BPS, mengingat sagu jadi komoditas utama di Papua.