Bahagia. Sebuah kata yang sangat sulit untuk diartikan bagi sejumlah orang. Eric Weiner, seorang koresponden National Public Radio (NPR) bahkan mengelilingi dunia demi mencari arti kebahagiaan. Dalam bukunya yang berjudul The Geography of Bliss, beliau menggambarkan bahagia dengan banyak kata. Kebahagiaan adalah angka, kebijakan ataupun menang lotre, kebahagiaan juga bisa berarti hal-hal buruk seperti kegagalan dan kebosanan, begitulah katanya. Sewaktu kecil, bahagia itu adalah ketika bisa pulang sekolah lebih cepat dan tanpa pe-er matematika. Ketika remaja, kebahagiaan datang saat mendapat handphone baru dari orang tua. Namun saat mulai dewasa, kebahagiaan menjadi semakin dalam maknanya.
Belakangan ini saya sulit menemukan rasa bahagia. Entah lah, kenapa pribadi yang baper-an seperti saya ini malah sulit merasakan perasaan itu. Saya masih ingat, satu pekan lalu, saya meneteskan air mata karena mendapat kiriman lauk dari ibu di rumah, bahagia sekali. Namum beberapa hari ini saya tidak pernah menangis sama sekali. Tidak karena bahagia, tidak juga karena sedih. Ada yang aneh, sesuatu dalam diri saya terasa menyesakkan namun tidak bisa keluar. Dengan keras saya mencoba untuk bahagia, namun tetap tidak bisa. Maka, saya mulai mencari tau apa penyebabnya.
Shawn Achor telah meneliti tentang kebahagiaan menyatakannya dalam sebuah presentasi singkat di TED, bahwa 90% rasa bahagia timbul dengan cara akal kita memproses segala sesuatu yang ada di dunia. Sebagai mahasiswa saintek, hasil penelitian tersebut sangat meyakinkan untuk diterapkan, namun setelah saya coba, itu tidak berhasil. Saya tetap tidak bahagia. Lalu saya membeca sebuah penelitan mengenai stress dari Kelly McGonigal, saya fikir ada terlalu banyak beban fikiran yang berada di otak saya, maka saya mencoba menguraikan beban itu satu persatu. Namun, saya tetap tidak bahagia.
Disuatu malam, tepatnya pukul 3 pagi saya terbangun, dengan kondisi sangat segar dan setumpuk keinginan untuk berbincang dengan Rabb yang mengendalikan hati saya. Saya bergumam, tampaknya hati saya telah mati, sehingga ia tidak merasakan perasaan apapun termasuk bahagia. Maka saya berwudhu dan bersujud pada-Nya, bernostalgia. Tidak terasa, air mata saya mengalir. Degan segenap penghambaan pada Sang Khalik, memori itu berputar.
Dulu saya pernah merasa sangat dekat dengan-Nya. Setiap saat saya selalu bersyukur, berterima kasih atas hujan, atas panas, atas tugas yang menumpuk, atas sakit yang diderita. Bahagia atas perjalanan ke majelis ilmu, tersenyum pada saudari-saudari seiman, bahagia atas kejutan-kejutan kecil hingga besar yang Allah berikan. Dulu saya pernah merasakan, dua rakaat yang melepaskan sekat, satu lembar tilawah yang sangat khidmat, air putih nikmat dipenghujung shaum sunnah. Bahagia sekali.
Saya tersadar, ternyata yang hilang adalah kata hamdalah, tertutup oleh keluh kesah. Yang hilang adalah kata-kata hikmah, berganti dengan gelak yang pecah. Yang hilang adalah sujud. Kemalasan yang saya biarkan berlarut-larut menyebabkan iman saya semakin surut. Maka saya bertekad untuk bangkit. Saya tersadar, bahwa selama ini yang membahagiakan bagi saya bukanlah hal-hal yang dikatakan oleh para ilmuwan. Bagi saya, yang membahagiakan itu adalah iman.
Mustika Rani – PM BA 9 Regional Padang