BEM merupakan salah satu organisasi atau dikenal juga dengan lembaga eksekutif mahasiswa yang ada di hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Melalui forum ini, banyak mahasiswa yang belajar tentang berbagai hal mengenai kepemimpinan, mobilisasi massa, negosiasi, lobi, dan soft skill lainnya yang tidak diajarkan di dalam kelas. Hampir setiap mahasiswa baru yang masuk akan dihadapkan dengan berbagai program dari organisasi tersebut, seperti OSPEK atau yang kini dikenal dengan PKKMB. Ajang kaderisasi organisasi tersebut bahkan sudah dimulai sejak mahasiswa baru masuk di sebuah perguruan tinggi. Meskipun di sisi lain banyak oknum senior yang menjadikan momentum tersebut untuk ajang pencarian pasangan.
Kisah ini bermula ketika seorang mahasiswa yang lugu dan sering bergaul dengan berbagai macam organisasi intra maupun ekstra kampus diajak untuk maju menjadi salah satu pasangan calon ketua dan wakil ketua BEM di sebuah kampus ternama. Sudah bukan menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa yang suka berkecimpung di dunia perpolitikan kampus, yaitu tentang paham atau ideology kanan dan kiri. Keduanya sering dibenturkan sebagai dua buah paham yang saling berseberangan dan tidak bisa dipersatukan walaupun hanya dalam sebuah forum diskusi.
Hingga pada waktunya, tidak ada paslon lain yang mendaftar sebagai calon ketua dan wakil BEM. Maka KPU selaku panitia pemilihan yang dibentuk oleh lembaga legislative mahasiswa atau yang dikenal dengan DPM (Dewan Pertimbangan Mahasiswa) akan menutup pendaftaran. Akan tetapi di menit – menit terakhir ada sepasang calon yang diusung oleh beberapa mahasiswa senior maupun junior mendaftarkan diri ke KPU. Akhirnya proses pendaftaran ditutup dengan adanya dua pasangan calon ketua dan wakil ketua BEM yang mendaftarkan diri.
Kedua paslon yang maju menjadi kejutan besar bagi para aktivis kampus tersebut, hal ini dikarenakan pada kesempatan sebelumnya para politikus kampus tersebut sudah memprediksikan nama – nama lain yang akan naik kontestasi politik pemilihan pimpinan lembaga eksekutif tersebut. Dengan naiknya paslon kejutan tersebut, kini keadaan makin memanas ketika isu tentang latar belakang pendukung banyak digaungkan.
Paslon pertama yang mendaftar diberitakan sebagai delegasi dari aktivis kampus golongan kanan, sedangkan paslon ke dua diidentikkan dengan golongan kiri. Akibatnya, kedua paslon mendapatkan framing oleh mahasiswa yang melek politik kampus sebagai dua jagoan yang akan bertempur memperebutkan kekuasaan eksekutif di kampus tersebut. Banyak politikus kampus dan aktivis kampus yang berpandangan bahwa pemimpin lembaga eksekutif akan mempengaruhi iklim kehidupan berorganisasi maupun kemahasiswaan di kampus.
Maka tidak sedikit pula pendukung dari kedua belah pihak yang memainkan isu sensitive tersebut kepada para mahasiswa lugu dan polos agar memilih paslon tertentu ketika hari pemungutan suara. Golongan kanan memainkan isu tentang kegiatan kerohanian akan dikurangi dan tidak difasilitasi ketika paslon dari golongan kanan memimpin. Sedangkan golongan kiri memainkan isu jika golongan kanan banyak berafiliasi dengan organisasi ekstra kampus yang bersifat radikal dan ekstrim. Hingga pada akhirnya, paham setengah – setengah dari masing – masing isu profokatif yang dimainkan mampu memecah belah suara dan paradigma mahasiswa.
Bahkan tak jarang ditemui aksi saling cemooh di media social dari kedua belah pendukung. Hal itu terjadi karena mahasiswa tidak mampu mengolah data dari berbagai macam isu sensitive yang diangkat oleh kedua belah pihak. Kebanyakan mahasiswa akan mengikuti dan meng-iyakan sebuah informasi ketika sumber informasi tersebut berasal dari pihak yang mempunyai kesamaan. Sebagai contoh adalah sama – sama suka nongkrong, suka jajan, teman kelas, dan lainnya. Mahasiswa enggan untuk mencoba mencari informasi dari pihak lain sebagai data pembanding baru kemudian menentukan sikap dari hasil mengolah kedua informasi berdasarkan pengetahuan, ketrampilan, maupun pengalaman yang dimiliki.
Tidak jarang pula dua mahasiswa dari golongan yang berbeda ketika dijadikan satu dalam sebuah forum untuk menentukan sebuah acara masing ngotot dengan argumennya karena membawa kepentingan golongan, bukan kepentingan bersama. Proses berfikir dan cara mengolah sebuah informasi dengan gaya seperti itu tentunya sangat berbahaya bagi kelangsungan sebuah ekosistem organisasi. Meskipun dalam pelaksanaan sebuah organisasi peran oposisi sangat penting sebagai kontrol pemimpin, akan tetapi jika konsep berfikir sudah terlalu radikal terhadap suatu paham dan acuh tak acuh terhadap pemikiran orang lain, maka hal tersebut sangat berbahanya dan mampu menjadi sumber perpecahan bangsa. Jadi, sudah selayaknya budaya toleransi dan berfikir ilmiah dengan landasan keimanan kepada Tuhan YME diimplementasikan dalam kehidupan kampus.
Ketika para mahasiswa sudah terpecah – pecah dengan isu yang diangkat oleh masing – masing pasangan calon, tiba – tiba terjadi keputusan fenomenal dari KPU selaku panitia penyelenggara pemilihan.