Oleh Desy Rahmayanti Khumairo (Universitas Negeri Surabaya)
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita. Senyuman, kedipan, gerak-gerik, gestur, warna, dan lainnya, semuanya mempengaruhi persepsi kita terhadap sesuatu atau seseorang. Sebagai manusia, tentunya tidak pernah terlepas dari yang namanya kesalahan. Begitu pula dengan kesalahan persepsi. Berikut adalah analisis kesalahan persepsi yang pernah saya lakukan dan saya sesali hingga saat ini. Semoga ada pelajaran hidup yang tersirat lewat analisis kesalahan persepsi terhadap sesuatu yang akan saya paparkan berikut.
Masa SMA adalah masa-masa yang paling indah. Selain karena tugasnya yang banyak, kita juga bisa bertemu dengan berbagai macam guru dengan tipe/karakteristik yang berbeda. Seperti tipe orang pendiam karena sikap tawadhu’ yang dimiliki, sosialita karena mengikuti berbagai trend yang sedang hangat dibicarakan, disiplin dalam hal memberi tugas dan selalu on time, galak hingga disebut guru killer, sombong dan angkuh karena suka memamerkan apa yang dimilikinya, dan tipe yang lainnya. Pernah suatu ketika, saya salah dalam mempersepsi seseorang. Saat itu, pelajaran kimia adalah suatu hal yang menakutkan dan membosankan karena pelajarannya yang terkenal sulit dan begitu juga dengan gurunya yang terkenal “killer”. Kala itu guru kimia saya bernama bu Sis. Kesan saya saat pelajaran berlangsung adalah mengkategorikan guru tersebut sebagai guru killer. Mungkin karena cara mengajar mereka, gestur tubuh, suara lantang, tingkat kedisiplinan yang tinggi, hingga pemberian nilai yang tidak terlalu memuaskan. Ada juga cuap-cuap kakak kelas yang memberikan testimoni bahwa guru tersebut adalah guru yang killer. Ditambah lagi, faktor teman-teman yang sudah berkoar-koar bahwa guru tersebut jahat dan sangat tidak enak dalam hal pengajaran, sehingga mindset yang tertanam pada saya saat itu adalah dengan mengkategorikannya menjadi killer. Ketika mindset dalam pikiran sudah tidak baik, maka secara otomatis segala hal juga tidak berjalan dengan baik. Seperti pikiran yang menyerap pelajaran tidak maksimal hingga menyalahkan guru atas segala nilai jelek yang diterima. Selang beberapa waktu, suatu ketika kami satu kelas diberikan tugas yang sangat sulit dan kami tidak bisa mengerjakan. Tugas tersebut juga diberikan waktu yang sangat singkat untuk proses pengumpulannya. Pilihan yang muncul saat itu adalah “Mengumpulkan tugas” atau “Nilai nol tanpa perbaikan”. Jika pilihannya seperti itu, maka yang ada di benak saya tentu saja mengumpulkan. Namun, saya tidak tahu dari mana harus memulai untuk mengerjakan. Sehingga saat saya mengerjakan secara acak dan sebarang, akan salah semua. Lantas apa bedanya dengan nilai nol yang akan saya terima. Melihat situasi kondisi teman-teman saat itu malah lebih parah. Mereka tidak mau diajak berdiskusi, meremehkan hal tersebut dan memilih bersantai ria. Yang terlintas pada pikiran saya saat itu adalah saya harus tanya pada siapa untuk mengerjakan soal itu. Dengan sigap otak saya memberikan pilihan jawaban yaitu kakak kelas atau guru yang mengajar.Saya juga turut menimbang konsekuensi yang akan terjadi. Satu-satunya kesempatan untuk bertanya adalah saat jam istirahat kedua, yakni sekitar pukul 12.00. Karena tugas dikumpulkan hari itu juga, maka tidak ada kesempatan lagi untuk bertanya besok. Saya termasuk orang yang perfeksionis. Jadi saya tidak mau ada kesempatan yang terbuang sia-sia. Jika saya bertanya pada kakak kelas, kemungkinan dia akan mulai mengerjakan dan ada juga peluang dia untuk tidak bisa mengerjakan. Jika dia gagal mengerjakan maka waktu saya terbuang. Sehingga pilihannya jatuh pada guru. Saya langsung maju mundur. Saya tidak berani karena ketika di kelas guru tersebut sangat tidak ramah dan tanpa ekspresi. Tetapi di sisi lain saya butuh. Akhirnya, dengan segenap jiwa dan raga, serta “bondo nekat” saya memberanikan diri saya berjalan ke ruang guru. Ketika saya bertanya pada guru tersebut di luar kelas, responnya sungguh di luar dugaan. Beliau sangat baik dan menjawab pertanyaan itu dengan sangat rinci dan jelas. Bahkan saya terkadang juga diberi makanan ataupun uang. Jadi ini termasuk kesalahan persepsi saya. Saya menyesal sudah membicarakan sesuatu hal yang buruk tanpa adanya data, tanpa mencari tahu kebenarannya. Saya terlalu menilai seseorang berdasarkan apa kata orang tanpa menyeleksi dulu apakah benar adanya ataukah tidak.
Solusi:
Ketika ingin menilai sesuatu hal, ada baiknya mencari data terlebih dahulu. Jangan dibutakan oleh data yang diperoleh dari lingkungan sekitar, karena data tersebut belum tentu benar. Bisa jadi hanya karena rumor yang menyebar dan disebabkan oleh oknum jahat yang tidak bertanggung jawab merubah persepsi terhadap seseorang. Jadi apapun itu sebaiknya disaring dan ditimbang terlebih dahulu, jika memungkinkan juga buktikan kebenarannya. Mana yang benar mana yang memang salah.
Analisis:
Cerita saya di atas, diakibatkan prinsip persepi yang bersifat dugaan. Adanya faktor yang mempengaruhi atensi juga turut mempengaruhi. Saat itu, data yang saya peroleh dari indra saya tidak lengkap. Data yang saya miliki hanya “kata orang” dan “kata teman”. Jadi dari situ saya menduga, sehingga memungkinkan saya untuk menafsirkan objek dengan makna yang lebih lengkap dengan memutuskan bahwa guru tersebut jahat/killer. Namun, kembali lagi pada konteks bahwa persepsi tidak pernah objektif. Persepsi bersifat pribadi dan subjektif. Jadi apa yang saya persepsikan, belum tentu orang lain juga mempersepsikan hal yang serupa. Bisa saja kakak tingkat saya dan teman saya tadi, mempersepsikan sosok bu Sis dari sudut pandang yang berbeda. Sehingga data yang mereka miliki membuat mereka menafsirkan bahwa bu Sis adalah sosok guru yang jahat/Killer. Kemungkinan, bu Sis juga merupakan objek yang mengalami kesalahan persepsi sosial. Manusia bersifat emosional, sehingga penilaiannya pun juga mengandung resiko. Dan persepsi sosial itu timbul berdasarkan pengalaman. Dalam hal ini, persepsi sosial berdasarkan pengalaman orang lain yang saya jadikan data. Sehingga saya mengalami kesalahan persepsi. Sebelum saya kembali ke jalan yang benar.
Saya juga mengalami kesalahan persepsi lagi dengan orang yang sama. Dilihat dari gesturnya, pakaian, sepatu dan perhiasan yang beliau kenakan, saya menilai bu Sis sebagai orang yang biasa-biasa saja “tidak kaya”. Setiap berangkat dan pulang mengajar, beliau juga berjalan kaki 10 meter kemudian naik bemo dan dilanjutkan dengan naik becak. Sejak saya mengalami kesalahan persepsi yang pertama, saya memutuskan untuk mengubah mindset saya dengan menilai bahwa bu sis guru yang baik, walaupun di kelas suaranya sedikit lantang, tegas serta disiplin. Hal itu membuat saya menjadi lebih dekat dengan beliau hingga sampai pada suatu titik dimana saling bercerita kehidupan pribadi. Sehingga dari situ saya mendapatkan data bahwa sehari hari beliau pulang dan pergi ke sekolah menggunakan angkutan umum. Yang ada di pikiran saya saat itu adalah orang yang sederhana. Suatu hari, saya diberikan uang jajan oleh guru tersebut. Karena saya merasa sungkan pada saat itu (karena terlalu sering diberi sesuatu oleh beliau) saya pun menolak. Kemudian guru yang ada di sebelahnya berkata kepada saya “Gak apa2 mbak ambil aja, bu sis lo uangnya banyak”. Mendengar hal itu, saya tetap menolak pemberian tersebut. Karena saat itu saya tidak terlalu percaya lagi pada yang dikatakan orang lain. Hingga suatu ketika, saya dimintai tolong oleh bu Sis dan disuruh ke rumahnya. Saya pun terkejut. Karena rumahnya sangat besar dan beliau juga memiliki mobil yang bermerk. Bahkan anak-anaknya pun juga banyak yang di luar negeri, sekolah disana dengan uang sendiri. Saya baru tahu pada saat itu. Padahal sehari-hari beliau juga tidak mengenakan perhiasan di sekolah. Saya sekali lagi mengalami kesalahan persepsi. Hingga saat ini pun bu Sis masih membantu saya. Terkadang beliau juga menambahi uang kuliah saya, ketika orang tua saya mengalami kesulitan untuk membayar uang kuliah saya. Tidak salah memang, pernyataan “ajining diri saka busana” karena lewat busana, lewat perhiasan terkadang juga bisa mencirikan strata/ tingkat perekonomian seseorang. Akan tetapi kita juga tidak boleh lupa bahwa masih ada orang-orang tertentu yang menutupi kekayaannya hanya untuk berbaur dengan orang biasa. Hanya agar tidak dikira sombong yang nantinya akan menimbulkan kesalahan persepsi lain.
Solusi:
Jangan menilai seseorang hanya karena penampilan. Bisa jadi ada yang berusaha ditutupi. Orang kaya tidak selalu memakai barang mewah, bahkan orang miskin pun terkadang juga bisa berpura-pura kaya. Karena pada hakikatnya dunia ini penuh dengan sandiwara, walaupun tidak semuanya berbuat demikian.
Analisis:
Cerita saya di atas, diakibatkan prinsip persepi yang bersifat kontekstual. Adanya faktor yang mempengaruhi atensi juga turut mempengaruhi. Seperti pengalaman masa lalu berupa salah menilai orang, sehingga tidak mau salah lagi dalam menilai, dan tidak mudah percaya pada kata orang. Dari semua pengaruh dalam persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh yang paling kuat. Artinya ketika kita melihat seseorang, pasti kita mencirikan orang tersebut seperti apa. Dari rangsangan tersebut akan mempengaruhi struktur kognitif kita. Seperti ketika kita melihat orang yang memakai perhiasan banyak, kita persepsi sebagai orang kaya, maka secara otomatis perlakuan kita terhadap orang tersebut juga akan berbeda dengan orang yang kita persepsikan sebagai orang miskin dalam hal cara berbicara. Seringkali demikian adanya. Dalam konteks tertentu, kita menafsirkan struktur objek berdasarkan prinsip kemiripan atau kedekatan dan kelengkapan. Seperti pada saat saya menilai bu sis berdasarkan atribut yang beliau kenakan, misalnya baju, sepatu, pakaian. Dan saya lanjutkan dengan prinsip kedua yaitu mempersepsi rangsangan atau kejadian yang terdiri objek dan latar belakangnya. Contohnya pada saat saya langsung merubah persepsi saya setelah melihat kenyataan terkait latar belakang bu Sis sebagai sosok yang kaya.
Dari beberapa pernyataan dan analisis saya di atas, tidak salah memang jika kita mengatakan bahwa persepsi sering mengecoh kita. Sering juga kita mengalami salah persepsi karena indra kita juga tak jarang menipu kita. Sehingga persepsi sering disebut ilusi perseptual. Karenanya kita harus berhati-hati terhadap persepsi yang akan kita tanamkan dalam pemikiran kita tentang seseorang atau suatu hal. Karena hal tersebut juga akan berdampak pada perilaku kita kedepannya. (Derakhu)