Ada Keterbatasan dibalik Keindahannya

Gagasan / cerita ini terbesit untuk saya buat setelah saya pulang dari pengabdian selama 24 hari Agustus 2019 lalu. Lokasi pengabdian masih di provinsi saya sendiri, namun jarak dari ibukota provinsi bisa dibilang cukup jauh . Kurang lebih 1 hari 1 malam untuk mencapai lokasi pengabdian, itupun hanya dapat ditempuh dengan menggunakan kapal klotok ( kapal kecil terbuat dari kayu yang biasa mengangkut penumpang atau barang ), dan periode keberangkatan hanya 1 kali selama seminggu.

Pulau indah itu namanya Pulau Pelapis, terbagi atas beberapa gugusan pulau yang membentuk suatu administrasi desa yang namanya sama juga Desa Pelapis. Jika teman-teman tahu Sail Selat Karimata di tahun 2016, nah Desa Pelapis ini termasuk satu dari bagian Kecamatan Kepulauan Karimata yang terdiri atas desa Pelapis, Betok Jaya, dan Padang.

Dari Pontianak, kita bisa menyusuri sungai menggunakan kapal klotok tadi, ditempuh kurang lebih 11 jam perjalanan dari pukul 5 sore hingga 4 pagi menuju pelabuhan teluk batang, kemudian pagi harinya kapal klotok lainnya akan mengantar menuju pulau dengan waktu tempuh kurang lebih 7-8 jam menyusuri lautan hingga ke tepian pulau.

Beruntung, jika musim teduh / musim barat angin tidak terlalu kencang sehingga gelombang juga tidak terlalu besar, namun memasuki musim selatan, angin yang bertiup cukup kencang dan gelombang cukup membuat seisi kapal melambung ke kiri dan ke kanan.

Gugusan pulau, lautan biru dari bibir pantai, hijaunya bukit, kayanya hasil lautan dan keramahan masyarakatnya menjadikan Pulau Pelapis sebagai salah satu objek wisata yang wajib dikunjungi oleh wisatawan yang ingin sedikit merehatkan diri dari penatnya kehidupan Kota, terlebih disana belum ada sinyal internet.

Namun, keindahan yang menjadi point utama tadi bisa dibilang berbanding terbalik dengan taraf kehidupan masyarakat disana, baik dari segi ekonomi, pendidikan dan kebutuhan primer masyarakat.

Keindahan yang diberikan gugusan pulau Karimata tak menjamin perekonomian masyarakatnya juga indah. Terlebih, ketika musim selatan datang. Banyak masyarakat dipaksa untuk tidak berlayar karena cuaca yang tak mendukung untuk sekedar mencari nafkah untuk keluarga. Bahkan, untuk pekerjaan selain nelayanpun masih kurang dikuasai oleh masyarakat setempat. Tempat untuk berladang ? Banyak sebenarnya, diatas gunung sangat memungkinkan untuk menanam berbagai macam bahan makanan / tanaman. Tapiii, nah ada tapinya . Banyak sekali hama yang sewaktu-waktu menyerang tanaman masyarakat mulai dari kera, anjing, hingga babi hutan. Maka dari itulah, kebanyakan masyarakat disana tidak menjadikan petani sebagai profesi mereka. Jadi, ketika masa selatan tiba, sebagian besar dari mereka hanya berdiam diri dirumah dengan memanfaatkan hasil tangkapan yang tidak seberapa untuk kehidupan sehari-hari.

Dari segi pendidikan, bisa dibilang dalam kategori kurang. Di desa Pelapis sendiri, terdapat 2 Sekolah Dasar dan 1 Sekolah Menengah Pertama. Kondisi sekolah yang menjadi sarana utama untuk proses belajar mengajar pun masih jauh dari kata layak. Bayangkan saja di SD hanya terdapat 3 lokal/ruangan yang tersedia . Sedangkan, ruang kelas itu digunakan untuk 6 tingkat kelas dan ruang guru mereka. Alhasil, harus ada beberapa kelas yang digabung dan hanya berbatasan dengan papan tulis/triplek/lemari seadanya. Jarak SMP juga lumayan jauh, mungkin bagi beberapa siswa bisa menempuh jarak dari rumah ke sekolah kurang lebih 45 menit dengan berjalan kaki turun naik bukit sebagai akses utama jalan mereka.

Layaknya desa tertinggal lainnya, listrik di desa setempat masih belum memadai bahkan belum masuk sama sekali. (((layaknya))) seharusnya kata tersebut tak pantas dikatakan, karena akan menjadi sebuah perumpamaan yang dijadikan pemakluman. Namun, ya memang benar. Sebagian besar daerah tertinggal memiliki satu kekhasan yang sama yaitu dari segi listriknya. Sekali menyebut karimata, beberapa orang dengan anteng mengatakan “wah berarti udah maju ya disana” padahal kenyataannya 180 derajat. Listrik disana hanya terbatas pada siapa yang memiliki genset ataupun panel surya. Bagi yang tidak punya mau tidak mau harus bertahan tidak punya listrik seharian. Dari segi akses jalan juga masih jauh dari kata layak, karena jarak dari dusun satu dan yang lainnya dalam satu gugusan pulau harus menempuh perjalan kurang lebih 30 menit jalan kaki turun naik bukit, bisa juha melalui alternatif air yang bisa jauh lebih singkat waktunya. Tapi, Alhamdulillahnya kabar baik menghampiri untuk tahun ini karena kabarnya listrik dari perusahaan swasta mulai masuk ke masyarakat dan perbaikan jalan juga akan dilakukan mulai tahun ini.

Harapannya, pemerintah setempat dapat lebih memperhatikan kehidupan masyarakat di daerah sana, meskipun jauh dari pusat ibukota provinsi, mereka juga layak untuk mendapatkan perhatian terlebih banyak aset alam maupun sumber daya manusia yang bisa dikembangkan jika benar benar diperhatikan.