Aku ingin bercerita mengenai perjalanan di BAKTI NUSA (atau akrab pula disingkat dengan BA) mulai proses pendaftaran hingga akan melaksanakan uji akhir. Aku mengetahui beasiswa ini dari salah satu senior di kampus, yaitu Mba Aul BA 7 Surabaya. Salah satu kegiatan yang menarik yang dilakukan oleh Mba Aul adalah Marching For Boundary (MFB) di Entikong. Selain itu, ada Mas Panji BA 7 Bogor yang membuat saya menangis dan merenung dengan orasinya ketika National Mission BA 7. Hingga sekarang video tersebut dapat ditonton di Youtube dengan judul, “SIAL Menjadi Penerima Beasiswa Dompet Dhuafa oleh Panji Laksono”. Hikmah yang saya peroleh adalah manusia itu makhluk sosial dan tidak dapat hidup sendiri. Orang-orang yang hartanya digunakan untuk memberikan manfaat kepada orang lain itu bisa jadi berada dalam kondisi keuangan yang lebih sulit dari kita, tetapi Allah masih memberikan hidayah kepada mereka untuk senantiasa berbuat baik. Lantas alasan apa yang akan kita sampaikan di akhirat kelak ketika menyalahgunakan nikmat yang telah kita terima?
Pada masa pendaftaran, aku sempat ditentang oleh kedua seniorku di kampus yang sudah menjadi penerima manfaat BA, yaitu Mba Aul dan Mba Ria. Pada saat itu, aku kebingungan dengan berkas yang berkaitan dengan life plan dan leadership project. Mereka berdua melontarkan pertanyaan yang mirip kepadaku ketika aku meminta untuk berdiskusi terkait pendaftaran. “Niatmu daftar apa, Vic? Kalau cuma biar diterima, kamu bisa manipulasi masalah berkasnya dan gak perlu kamu lakukan dengan serius.” ungkap keduanya. Aku yang awalnya pada saat itu sangat berharap diterima dan memperoleh dana insentif satu juta tiap bulan (selama 6 bulan pertama) akhirnya tidak terlalu berharap diterima karena merasa tidak pantas. Namun, aku membulatkan tekad untuk tetap mendaftar karena aku ingin mengubah kepribadianku yang egois menjadi seseorang yang memiliki jiwa sosial yang teguh bahkan ketika sudah tidak menjadi mahasiswa.
Seleksi terus berjalan hingga tahap akhir yang berupa voting melalui website BA. Aku memperoleh 253 suara dan menempati peringkat 10 dari 12 calon Penerima Manfaat (PM) BA regional Surabaya. Selama proses voting sebenarnya ada yang menyarankan untuk pakai beberapa akun email untuk menambah suara, tetapi aku menolak dengan alasan tidak perlu berbuat curang karena rezeki tidak akan tertukar. Pengumuman penerimaan BA 10 mundur, tetapi tidak diberikan keterangan yang jelas alasan dan hingga kapan diundur. Saat itu aku berasumsi bahwa ada kaitannya dengan pengalokasian dana yang lebih banyak difokuskan dalam penanganan dampak langsung dan tidak langsung dari pandemi COVID-19. Meski kondisi keuangan keluarga juga terkena imbas dari pandemi (Bapak di-PHK), aku tidak merasa lebih berhak menjadi PM BA, sehingga aku tidak berharap terhadap diterima.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa membutuhkan pemasukan agar tidak menjadi beban keluarga akibat diriku yang masih merantau. Aku malah meminta kepada Allah agar dapat diterima di BA sehingga dapat hidup mandiri di perantauan. Dua hari setelah berdoa, PM BA 10 diumumkan (meski terhitung telat dua bulan). Alhamdulillah, aku termasuk dari PM BA 10, doa yang kupanjatkan telah dijawab oleh Allah. Namun keraguan langsung menyelimuti hatiku, ketika disampaikan berita bahwa PM BA 10 tidak akan menerima dana insentif. Aku langsung ingin membatalkan niatku untuk menjadi PM BA 10 karena mengabdi selama setahun pada sebuah program tanpa ada bantuan bukankah itu sulit?
Aku menceritakan kegelisahanku pada salah satu temanku untuk memperoleh insight dari dirinya. “Coba dicek lagi dengan kebutuhan dan rencanamu. Apa keinginanmu batalin beasiswa itu gede banget? Kadang sayang aja sih, Vic. Sudah diterima dan menyisihkan puluhan bahkan ratusan peserta.” jawab temanku. Akhirnya aku kembali bermunajat kepada Allah, untuk dikuatkan mengikuti program BA, sebab aku merasa BA dapat menjadi salah satu jalan untuk memperbaiki diriku dan lebih dekat dengan-Nya. Aku ber-azzam untuk menyelesaikan program BA dengan sebaik mungkin bahkan jika harus “mengorbankan” (melakukan penyesuaian) life plan termasuk untuk siap stand by di Surabaya. Namun, aku meminta agar diberi kekuatan serta kemudahan dalam mengikuti program BA, termasuk dalam hal keuangan.
Aku mendaftar untuk Program Magang Mahasiswa Bersertifikat (PMMB) dan berharap mendapat penempatan di PT. Semen Gresik agar dapat memudahkan ketika harus ikut kegiatan BA di Surabaya. Namun saat pengumuman, jangankan ditempatkan di BUMN yang kuinginkan, bahkan tidak ada namaku di dalam pengumuman. Hal yang membuatku heran adalah teman dekatku di jurusan malah diterima di PT. Semen Gresik. Padahal dari segi IPK sampai pengalaman organisasi, aku masih lebih baik dari dirinya. Tepat pada malam setelah aku mengetahui hasil penerimaan PMMB, aku meluapkan perasaanku kepada Allah. “Ya Allah, hamba ikhlas dan berusaha untuk tidak hasad, iri, dan dengki kepada teman hamba atas hasil yang ia peroleh. Hamba percaya rezeki tidak akan pernah tertukar. Namun saat ini, hamba membutuhkan pemasukan agar tidak membebani orang tua hamba. Jika memang PMMB bukanlah jalan untuk memperoleh rezeki itu, maka tunjukkanlah jalan yang lainnya. Agar hamba dapat menjalankan program BAKTI NUSA dengan khidmat tanpa terbebani masalah uang.” ucapku dalam salah satu doa yang kupanjatkan.
Tepat pagi harinya, pukul 9 pagi, aku mendapatkan panggilan dari kampus bahwa ada slot untuk magang di PT. Pertamina (Persero) selama 6 bulan. Perusahaan yang aku impikan saat masih SMA dulu untuk dapat bekerja setelah aku lulus kuliah. Setelah aku menerima penawaran tersebut, aku dikejutkan dengan uang saku yang tidak seberapa, yaitu Rp1.750.000,00. Namun aku berusaha mengambil hikmah, bahwa sesungguhnya satu juta dari magang ini adalah sebagai ganti dari program BA, sedangkan uang sisanya adalah bonus dari Allah. Perbedaan yang ada, aku hanya harus magang (sekaligus belajar untuk berkembang) sembari tetap mengikuti kegiatan BA.
Setelah menyelesaikan rangkaian Future Leader Challenge (FLC) 2020, aku ingin memberikan faedah melalui program peminjaman Zoom gratis. Aku memutuskan memotong gaji magangku sebanyak tiga ratus ribu tiap bulan untuk biaya aktivasi Zoom sebagai bentuk komitmenku untuk mulai rutin bersedekah. Aku kembali mengadu kepada Allah agar dapat diberikan kecukupan meski harus bersedekah setiap bulan. Alhamdulillah, aku tetap dapat hidup tanpa menggunakan uang dari orang tua dengan cara membiasakan hidup yang lebih sederhana. Bahkan setelah memiliki ‘penghasilan’ sendiri, aku malah lebih hemat dibanding semasa masih aktif sebagai mahasiswa. Kemudian saat National Mission untuk BA 8 dan 9, salah satu pemateri menyampaikan masalah kurban. “Ah iya. Kenapa nggak kepikiran buat kurban ya tahun ini? Cuma uangnya dapat dari mana? Uang magang sudah dipakai untuk sedekah dan biaya hidup selama satu bulan. Ya Allah, berikanlah hamba jalan untuk memperoleh pendapatan tambahan sehingga dapat berkurban” gumamku dalam hati. Empat hari setelah itu, aku mendapatkan pekerjaan penyusunan dokumen lingkungan sebagai tenaga lepas. Alhamdulillah, hasilnya dapat digunakan untuk membeli kurban seekor kambing. Bahkan ketika magangku usai, Allah membukakan pintu rezeki melalui pekerjaan sebagai asisten penelitian dosen yang durasinya dapat membuatku bertahan di Surabaya hingga program BA selesai.
Serangkaian kejadian mulai dari pendaftaran hingga masa akhir akad BA, mengajarkanku banyak hal. Mulai dari meluruskan niat kebaikan serta senantiasa memperbaharuinya agar tetap ikhlas karena Allah semata, berdoa kepada Allah baik dalam keadaan sulit maupun mudah, meyakini pencapaian yang kita raih tak lepas dari kehendak Allah dan melakukan pengharapan hanya kepada Allah.
Pembelajaran yang aku dapat petik di BA bukan hanya dari kejadian “jual beli terbaik” diriku dengan Allah, tetapi juga melalui perantara orang-orang yang berada di dalamnya. Salah satunya adalah “mensyukuri nikmat dan menumbuhkan manfaat”. Jika dibandingkan dengan PM BA 10 yang lain, aku tertinggal baik dari segi pendapatan, prestasi akademis (termasuk memperoleh beasiswa untuk studi), religius serta spiritualitas, kerelawanan serta kepekaan sosial kepada masyarakat dan masih banyak hal lainnya. Hal ini bukan untuk memicu rasa insecure berlebihan atau rasa hasad, iri dan dengki melainkan untuk menyadarkan kita betapa lemah dan masih banyak kekurangan kita sebagai manusia. Sebuah kesempatan bagi kita untuk mengambil hikmah dari mereka untuk meningkatkan semangat perbaikan diri kita.
Tidak ada manusia yang sempurna dan kita tidak sedang berlomba menjadi yang terbaik di antara kita dengan manusia lainnya, tetapi kita berlomba dengan diri kita sendiri untuk mewujudkan versi terbaik dari diri sendiri. Tidak membandingkan nikmat keduniawian yang diperoleh dengan orang yang lebih sukses, tetapi lihatlah orang yang lebih sulit dari kita agar kita dapat memaknai syukur bukan untuk menumbuhkan rasa tinggi hati. Salah satu manifestasi dari rasa syukur itu adalah senantiasa berusaha merasa cukup dan membagikan kenikmatan itu menjadi suatu manfaat bagi orang lain. Berhenti menuntut dunia dan orang lain untuk berubah sesuai dengan keinginan kita dan mulailah berubah serta menumbuhkan manfaat dengan segala potensi yang ada.
Berlombalah dalam kebaikan apalagi dalam lingkup pencapaian akhirat. Memetik hikmah dari lingkungan sekitar akan memudahkan kita memberikan faedah bagi diri sendiri dan orang lain. Mensyukuri nikmat yang kita miliki akan memudahkan kita dalam menumbuhkan manfaat bagi banyak orang termasuk diri kita sendiri. Belajarlah memberi untuk paham tentang menerima. BA memang bisa jadi bukan wadah terbaik untuk berkembang, tetapi sejatinya banyak pembelajaran yang dapat diperoleh bagi mereka yang memang dengan tulus meniatkan belajar di BA.