BAKTI NUSA Mengajarkanku Mensyukuri Diri

Dua tahun lalu, saat rekrutmen BAKTINUSA 8, aku ikut mendaftar dengan motivasi ingin memburu beasiswa. Walau sadar sekali ini beasiswa langka dan susah untuk mendapatkannya, tapi kucoba saja mendaftarkan diri. Alhamdulillah lolos di tahap awal, verifikasi berkas. Namun aku tidak melanjutkan ke tahap selanjutnya, mentok saat diminta mengisi life plan. Tidak tahun ingin apa dan harus apa. Singkatnya, aku minder. Tidak yakin juga aku bisa bersaing dengan calon peserta lain. Namun dalam hati aku menargetkan bisa menjadi PM BAKTINUSA untuk tahun setelahnya.

Setahun berlalu dan tiba masanya rekrutmen BAKTINUSA 9 dibuka, aku mulai mempersiapkan diri. Kali ini merasa cukup punya bekal dan ingin berjuang sampai tahap akhir aku diizinkan. Yang kuingat saat menjalani proses rekrutmen aku sangat passionate melakukannya, mungkin karena memang ada keinginan yang sangat besar untuk mendapatkan beasiswa ini. Namun saat wawancara ada pertanyaan yang membuatku bimbang. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini “Diantara kamu dan teman-temanmu, kira-kira siapa yang paling pantas diterima?” Namun dari pertanyaan itu aku mencoba ikhlas dengan menjawab nama seorang teman dibanding diriku sendiri. Entah jawabanku benar atau tidak, kupikir itu pertanyaan jebakan. Syukurnya aku lolos sampai uji publik dan hari ini aku telah melewati uji akhir sebagai uji penutup program BAKTINUSA.

Setahun pembinaan jadi tak terasa memang. Aku tidak akan menceritakan bagaimana program-program yang diadakan, karena tentu sudah banyak yang mengetahuinya dari publikasi sosial media. Aku ingin bercerita tentang proses penemuan diri dalam satu tahun terakhir ini.

Tingkat akhir memang berat, aku merasakan sekali bagaimana krisisnya. Bukannya menjadi pribadi yang rendah hati, aku malah terlampau rendah diri. Jujur saja beberapa lama menjadi PM BAKTINUSA aku masih merasa belum membuka diri dengan teman-teman lain. Kadang ada saja terpikirkan “Duh aku tidak sesholehah dia, aku juga tidak sesemangat mereka semua” “Hebat ya mereka ini mainannya ke luar negeri terus, menang ini terus” dan pikiran-pikiran lain yang kadang mengusik dan membuatku menarik diri dari lingkaran ini. Kukira aku sudah cukup mencintai diri sendiri, nyatanya aku belum benar-benar menerimanya.

Katanya perjalanan paling dalam memang perjalanan menuju diri sendiri. Sering kali orang yang paling takut kita hadapi memang orang yang kita lihat bayangannya di cermin. Menjalani usia menuju seperempat abad memang banyak pertanyaan yang harus dijawab, sebelum sampai hilang jati dirinya. Aku sering kali mempertanyakan perihal eksistensi yang banyak orang bangun. Tentang penggunaan sosial media yang sering kali berfokus pada segala ke-aku-an. Belum lagi dikelilingi oleh teman-teman yang punya segudang prestasi untuk dibanggakan dan dijadikan inspirasi. Huft sebenarnya aku bosan dengan kata inspirasi. Namun aku teringat bahwa aktivis tidak peduli perihal eksistensi, mereka berbicara soal kontribusi. Apa peranmu untuk negeri ini? Hal baik apa yang sudah dan akan kamu lakukan untuk kemaslahatan umat? dan pertanyaan lain yang mengingatkan kita bahwa ada banyak cara untuk mengambil peran dan itu kita yang tentukan. Tak perlu pusingkan orang lain, tapi cari cara terbaik versi diri masing-masing dan dari banyak jalan kita sama-sama wujudkan cita-cita luhur bangsa ini.

Di tengah krisis tingkat akhir dan persiapan pascakampus, beruntung sekali diberi kesempatan dibina di BAKTINUSA. Aku mendapatkan semangat, ghirah, sekaligus tamparan pada berbagai kesempatan. Pembinaan ini membuatku tahu pertanyaan apa saja yang harus kupersiapkan jawabannya, sehingga tidak lama-lama berkutat pada pertanyaan yang tak pasti jawabannya; seperti “siapa jodohku?” hehe

Aku belajar mensyukuri diri. Menerima kurang juga lebihku, mengenal apa maunya diriku, juga berdamai dengan diriku yang lalu. Katanya, salah satu cara bersyukur atas diri sendiri adalah dengan memaksimalkan potensi. Allah sudah ciptakan kita dengan kondisi terbaik, dengan pikiran, jiwa, dan raga yang siap digunakan, sayang sekali jika tidak dioptimalkan untuk kebaikan. Aku belajar untuk tidak meremehkan segala macam peran, percaya bahwa aksi-aksi kecil akan besar dampaknya jika terus diusahakan. Aku belajar mempercayai diri dengan memeluk mimpi-mimpiku sendiri. Aku pun belajar mengelola energi dan memberikannya pada hal-hal yang semoga baik tak hanya untuk diriku sendiri.

Jazakumullah bi ahsanil jazaa untuk semua insan yang terlibat dalam proses ini. Bismillah, semoga kita ditetapkan hatinya untuk terus menuju ridho-Nya.

Aliya Nurarifa Saadah
PM BAKTINUSA 9 Bogor