Vietnam dan Pertanyaan Rasional
Penulis masih ingat. Saat itu, bus kami tengah malaju menuju salah satu destinasi yang direncanakan oleh pihak universitas Kein-Giang, Vietnam. Dalam agenda kampus yakni Kuliah Kerja Nyata, penulis dipandu oleh beberapa dosen asal Kein-Giang yang mengajar bahasa inggris. Seperti perjalanan pada umumnya, penulis dan rombongan terlibat dalam obrolan santai tentang daerah yang kami lewati, budaya Vietnam, serta tentang masyarakat Vietnam yang terkenal mayoritas atheis. Hal ini tidakmengherankan, sebab dalam konstitusi Vietnam yang lahir dari komunisme, sedari awal tidak mengakuieksistensiTuhan. Walaupun, seiring berjalananya waktu, Vietnam mulai terbukadenganagama karena pengaruhnya tidak dapat dihilangkan secara total dari kebutuhan warga negara. Berangkat dari obrolan agama ini, salah satu teman penulis kemudian mendapatkan pertanyaan yang membingungkan:
“What’s your God’s sex?Tuhan kamu, perempuan atau laki-laki?”
Pertanyaan diatas tentu sangat mudah dijawab jika diajukan oleh anak-anak. Dengan jawaban “kurang tau juga” atau dengan pengalih perhatian seperti mainan, niscaya pertanyaan tersebut selesai. Namun, cerita menjadi berbeda ketika diajukan oleh seorang dosen. Hal yang lebih membingungkan yaitu bagaimana memberikan pemahaman beragama versi islam yang meyakini Tuhan tidak pernah sama dengan segala makhluk kepada seseorang yang hidup dinegara mayoritas atheis seperti Vietnam.[1]Teman penulis yang memilih untuk bermain aman akhirnya menjawab “Our God has no sex” sambil menunjukkan wajah yang juga bingung.Barangkali menangkap karena ekspresi yang bingung, dosen tersebut juga tidak yakin untuk kembali bertanya dan percakapan kami berhenti tanpa ada penjelasan lebih lanjut.
Kendati momen tersebut berlalu begitu saja, ketika kembali ke Indonesia penulis diburu oleh pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
“Bagaimana filsafat menjelaskan jenis kelaminTuhan? bagaimana jika kita dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan sejenis seperti jika Tuhan maha mengetahui, apakah manusia memiliki kehendak bebas? atau sejak kapan Tuhan ada?” Apakah manusia memang didesain untuk tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas dan menyerahkan rasionalitasnya pada keimanan tanpa penjelasan apapun?Berawal dari obrolan santai di Vietnam, penulis tertarik untuk membahas pertanyaan diatas secara serius. Melalui esai ini penulis mencoba menengahi antara agama dan filsafat untuk merawat rasionalitas dengan menggunakan konsep supra-rasionalitas Tuhan.
Tuhan dan Tuntutan Rasionalitas
Setelah merenungkan pertanyaan-pertanyaan diatas, penulis menemukan satu karakteristik unik yakni pertanyaan apakah Tuhan kamu laki-laki atau perempuan dibentuk dari pengalaman dosen Kien Giangsebagai being(makhluk).[2]Dalam banyak kasus, manusia mengalami hidup secara empiris lalu menyimpulkan suatu konsep dari apa yang dialaminya. Pada kasus dosen Kien Giang, ia mengetahui bahwa manusia memiliki jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Berangkat dari pengalamantersebut,beliaukemudian menyimpulkan pasti Tuhan juga memiliki hal yang sama. Alasannya, karena lebih mudah untuk memahami dewa Zeus adalah laki-laki atau dewi Fortuna adalah perempuan, ketimbang harus menerima bahwa Tuhan tidak masuk dalam kategori keduanya.
Begitu juga dengan pertanyaan jika Tuhan maha mengetahui, apakah manusia memiliki kehendak bebas. Pertanyaan ini juga berangkat dari asumsi dasar being yakni hidup adalah pilihan.Merupakan suatu hal yang kontradiktif jika ketika Tuhan sudah mengetahui penulis akan menjadi orang kaya suatu hari nanti, tetapi penulis masih memilikikehendak bebas untuk menjadi miskin atau menjadi kaya. Sebab, jika pilihan tersebut masih ada ditangan penulis, bukankah masih terdapat kemungkinan bahwa pengetahuan Tuhan salah? (andaikata penulis memilih menjadi miskin). Sedangkan sedari awal Tuhan memiliki sifat maha mengetahui dan tentu saja tidak mungkin salah. Seolah seperti lingkaran setan, akal manusia juga dipaksa bekerja sangat keras ketika dihadapkan dengan pertanyaan “sejak kapan Tuhan ada?” . Tentu saja, tidak ada rujukan apapun yang dapat ditelusuri untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang absurd ini.
Sebagai ilmu yang mengedepankan kemampuan akal, filsafat memiliki tanggung jawab besar untuk mengurai pertanyaan ini. Akan tetapi, mayoritas masyarakat umumnya menganggap bahwa filsafat justru akan menyesatkan manusia pada kesimpulan yang jauh dari keimanan. Sehingga, mayoritas jawaban yang penulis dapatkan adalah “jangan menanyakan sesuatu diluar jangkauan akal, cukup diimani saja”. Hal ini juga penulis temui dari pernyataan sorang filsuf asal Inggris yaitu Soreign Keinkergard yang memiliki teori : “karena hal tersebut tidak rasional, maka dari itu aku percaya”. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah ini berarti bahwa Tuhan bersifat irasional? sehingga manusia harus menyerahkan rasionalitas sepenuhnya kepada keimanan tanpa penjelasan lebih lanjut.
Probromatika Absurditas
Tanpa sadar, pertanyaan absurd diatas memiliki suatu tuntutan yakni Tuhan harus dapat diterima oleh akal rasional manusia. Hal ini juga yang sepertinya melatarbelakangi dosen Kien-Giang bertanya tentang apakah Tuhan dalam keimanan islam memiliki jenis kelamin (laki-laki atau perempuan). Tuhan dalam pikiran manusia (termasuk dosen Kien-Giang), terkadang dinalar secara rasional agar mudah dipahami. Namun, menurut penulis justru disanalah permasalahan ini dimulai.
Seperti yang kita ketahui, jenis kelamin adalah pengelompokkan manusia berdasarkan organ biologis yang dimilikinya. Adanya kategori laki-laki maupun perempuan menyebabkan suatu batas yang jelas antara dua jenis kelamin ini. Misalanya toilet, lorong kereta, atau antrian di suatu alur birokrasi. Disamping itu, terdapat fenomena transeksual yang terjadi disejumlah negara dimana individuingin “mengubah” jenis kelamin yang dimilikinya baik dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya.
Kita tentu tidak akan meninjau topik transeksual tersebut pada esai ini. Namun, adanya fenomena transeksual membuktikan bahwa jenis kelamin merupakan aspek penting yang mendefiniskan seorang manusia. Seorang manusia yang memiliki sex(male) akan terdefenisi sebagai laki-laki dan juga perempuan (female).[3] Memang, terdapat sejumlah proses operasi transeksual yang bisa dijalani oleh seorang. Namun, tetap saja tidak akan pernah dapat diubah sepenuhnya seperti ciptaan yang ditetapkan oleh Tuhan. Contohnya, seorang transeksual perempuan (yang awalnya adalah laki-laki) tidak akan pernah bisa memiliki siklus menstruasi atau mengandung seorang anak. Begitupun Transeksual laki-laki, tidak akan pernah dapat memproduksi sel sperma. Ini berarti, sex bersifat membatasi manusia dalam kerangkeng jenis kelamin. Pertanyaannya adalah mengapa Tuhan harus membatasi Dirinya dengan kerangkeng jenis kelamin? tentu saja hal ini tidak penting. Sebab Tuhan tidak terbatas oleh apapun, apalagi jenis kelamin. Disinilah absurditas pertanyaan dosen Kien-Giang. Beliau memahami Tuhan dalam suatu konsep rasional dimana Tuhan akhirnya dibayangkan seperti manusia atau being.
Probelamtika yang mirip juga terjadi pada pertanyaan selanjutnya. Jika Tuhan maha mengetahui, apakah manusia memiliki kehendak bebas? . Lagi, pertanyaan ini lahir dari upaya manusia yang mengidentikkan Tuhan sebagai zat yang terbatas pada pilihan tertentu seperti being. Karena jika Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia, harusnya Tuhan menunggu hasil pilihan manusia tersebut, sebelum mengetahuinya. Konsekuensinya, tidak mungkin Tuhan dapat memberikan kehendak bebas pada manusia dan maha mengetahui segalanya (termasuk pilihan manusia di masa depan) disaat yang bersamaan. Padahal, jika diasumsikan demikian, pertanyaan ini juga membuat Tuhan menjadi entitas yang harus memilih kekuasaanserta kehilangan kekuasaannya yang lain. Disamping itu, pertanyaan sejak kapan Tuhan ada, juga muncul akibat adanya anggapan bahwa Tuhan memiliki suatu periode permulaan seperti manusia yang memiliki tanggal lahir ketika dilahirkan dimuka bumi. Jadi,semua pertanyaan diatas didasari oleh tuntutan rasionalitas manusia tentang Tuhan, yang pada akhrinya mengidentikkan Tuhan seperti being.
Supra-Rasionalitas : Sebuah Pengantar Konsep
Penulis memiliki 2 kritik terhadap pendekatan rasional maupun irasional. Pertama, alasan manusia bersedia menyembah Tuhan adalahkarena Tuhan merupakan zat yang maha kuasa dan berada dalam posisi puncak hirarki semesta (membawahi manusia). Mengidentikkan Tuhan secara rasional lakyaknya beingmembuat Tuhan seolah-olah memiliki keterbatasan seperti jenis kelamin, periode permulaan, atau harus memilih kemampuan tertentu. Artinyadengan pendekatan rasional, Tuhan seolah-olah dipaksa setara dengan manusia agar mudah dipahamiyang tanpa sadar membuat manusia pada hakikatnya kehilangan alasan mengapa harus menyembah Tuhan.
Kedua, disisi lain penulisjuga sangat skeptis dengan konsep irasional Kienkegard. Hemat penulis, mengatakan Tuhan irasional secara tidak langsung juga mengategorikan Tuhan dalam karakteristik being. Karena, sikap manusia terkadang juga irasionaldalam keadaan tertentu. Misalnya pada saat putus cinta, seseorangpemuda inisial ES (19) warga Jalan Jemadi Gang Mawar, Kelurahan Brayan Darat, Kecamatan Medan Timur, Medan, rela bunuh dirisetelah terlibat pertengkaran dengan kekasihnya.[4]Maksud penulis, apa yang kemudian diharapkan pemuda kepadakekasihnyatersebut?Walaupun pada akhirnya kekasihnya menyesal,bukankah ia juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi? Irasional bukan?
Baik melalui pendekatan rasional ataupun irasional, keduanya sama-sama membuat Tuhan seolah-olah tidak layak untuk dipertuhankan karena “dipaksa” setara dengan munusia. Dengan pendekatan demikian, tidak heran filsafat sering membuat banyak pemikir menjadi atheis atau agnostik.[5]Oleh karena itu, diperlukan pendekatan alternatif yang dapat menengahi rasionalitas manusia dalam menjelaskan agama islam dan filsafat tanpa harus membenturkan keduanya lalu menjadikan kita atheis atau agnostik.
Pendekatan yang penulis maksud adalah supra-rasionalitas. Dalam ilmu hubungan internasional, terdapat istilah supranasional. Supra berarti melampaui, sedangkan nasional berarti ruang lingkup suatu negara. Sehingga, supranasional dapat diartikan sebagai suatu interaksi yang melampaui kedaulatan nasional masing-masing negara. Terinspirasi dari konsep supranasional, penulis melalui esai ini mengajukan supra-rasionalitas sebagai konsep untuk memahami pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Supra-rasionalitas dalam hal ini memiliki arti yaitu kapasitas Tuhan yang supra (malampaui) rasionalitas manusia.Ini berarti, Tuhan tidak bersifat rasional/irasional, melainkan malampaui rasionalitas itu. Melalui konsep ini, penjelasan masing-masing pertanyaan sebelumnya sangat berbeda.
Mari mulai dengan pertanyaan yakni apa jenis kelamin Tuhan menurut Islam. Dengan konsep supra-rasionalitas, kita dapat menjelaskan bahwa Tuhan tidak memerlukan jenis kelamin apapun. Karena jenis kelamin identik dengan batas. Sedangkan Tuhan harusnya tidak terbatas. Inilah mengapa Tuhan dalam Islam tidak pernah mendefinisikan diriNya sebagai laki-laki atau perempuan. Maksud penulis, alasan mengapa kita dapat menerima klaim bahwa Tuhan tidak memiliki jenis kelamin apapun, karena Tuhan melampaui semua manusia yang terbatas dalam jenis kelamin tertentu.
Selanjutnya, jika Tuhan maha mengeatahui, apakah manusia memiliki kehendak bebas? Tentu saja . Sebagai manusia kita dapat memprediksi berbagai fenomena misalnya politik, cuaca, ekonomi, dll. Hal yang sama juga dimiliki oleh Tuhan. Hanya saja, Tuhan tidak hanya sekedar memprediksi, tetapi juga dapat memastikan prediksi tersebut 100% benar. Jadi, Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia, namun disaat yang sama juga mampu melampaui kehendak bebas dimana Tuhan telah dapat memprediksi pilihan manusia melalui kehendak bebas secara akurat. Namun, bukankah ini terdengar tidak rasional, karena itu berarti, manusia harus mengikuti prediksi yang Tuhan miliki? Hmm.. tidak juga. Tuhan dapat melakukan keduanya disaat yang bersamaan karena Tuhan berada pada supra-rasionalitas. Bukankah justru aneh jika Tuhan memiliki kemampuan yang dapat dijelaskan secara rasional?, apa yang spesial dari Tuhan yang dapat mengetahui segalaNya namun tidak dapat memberikan kehendak bebas atau sebaliknya?Jika Tuhan hanya dapat melakukan salah satu dari kemampuan tersebut, maka ini berarti Tuhan juga memiliki keterbatasan tersendiri layaknya being. Lebih lanjut, Tuhan menjadi entitas yang “biasa saja” karena kemampuannya dapat dinalar dengan mudah.
Terakhir, sejak kapan Tuhan ada? Jawabannya adalah Tuhan ada sebelum “sejak” tercipta. Kita mengetahui bahwa kata “sejak” merefleksikan waktu atau periode tertentu. Misalnya sejak matahari terbenam (menunjukkan waktu magrib menjelang malam), sejak tahun 1998 (merujuk pada tahun), atau sejak pandangan pertama (merujuk pada awalan). Semua contoh tersebut memiliki waktu tertentu. Akan tetapi, waktu itu sendiri baru dimulai setelahTuhan menciptakanbig bang.[6] Ini berarti Tuhan telah ada sebelum memulai waktu. Dengan kata lain, Tuhan tidak dapat diikat dalam kata “sejak”. Karena Tuhan supra-rasional terhadap waktu atau melampaui kata sejak itu sendiri.
Manusia memiliki rasionalitas yang membuat rasnya berbeda dengan being lain. Akan tetapi, rasionalitas inihanya mampu menjelaskan hal-hal empiris dan tidak dapat masuk tataran supra-rasionalitas Tuhan. Upaya manusia dalam memahami Tuhan dengan filsafat baik melalui pendekatan rasional ataupun pendekatan irasional, hanya menyisakan dua kemungkinan. Pertama, menjadi atheis karena banyaknya temuan kontradiksi tentang Tuhan. Kedua, kehilangan rasionalitas akibat iman yang meyakini bahwa Tuhan adalah entitas yang irasional dan tidak dapatditelaah dengan akal pikiran atau filsafat sama sekali. Padahal, sebetulnya terdapat penjelasan alternatif yaitu supra-rasionalitas.Supra-rasionaitas berarti Tuhan memang memiliki karakteristik dan kemampuan yang terkesan kontradiktif, karena Tuhan adalah zat yang melampaui rasionalitas manusia. Oleh sebab hal yang sama, Tuhan selalu ada pada tataran yang tidak dapatdirasionalisasikan, namun juga bukan berarti irasional. Sebab, rasionalitas manusia memiliki batas pada hal-hal empiris dan Tuhan memiliki supra-rasionalias yang tidak lagi empiris.
Kesimpulan
Banyak hal yang sulit dijelaskan secara rasional tentang Tuhan. Namun, menurut penulis, hal ini memang seharusnya demikian. Karena menjadi sangat aneh jika Tuhan memiliki rasionalitas yang setara dengan being yakni rasional, apalagi irasional. Tuhan harus selalu melampaui rasionalitas manusia (supra). Sebab,sepanjang Tuhan memiliki supra-rasionalitas yang melampaui semua penjelasan akal sehat being, maka selalu ada alasan untuk patuh kepada Tuhan ataupun agama. Oleh karena itu, penting untuk manusia memahami bahwa dirinya memiliki batas-batas rasionalitas dan Tuhan selalu memiliki kemampuan untuk melampaui itu (supra-rasionalitas).
[1] Berdasarkan Surah Al-Ikhlas ayat 4
[2]Being adalah istilah dalam bahasa inggris yang berari makhluk atau ciptaan. Dalam hal ini, makhluk merujuk pada manusia.
[3]Maleistilah yang merujuk pada jantan dan Femalemerujuk pada betina dalam bahasa inggris
[4]Didi Syafirdi. “7 Kisah Bunuh diri karena Asarama.” https://www.merdeka.com/peristiwa/7-kisah-bunuh-diri-karena-asmara.html (diakses pada tanggal l2 Desember 2019)
[5] Agnostik adalah istilah dalam filsafat yang merujuk pada seseorang yang ada dalam posisi ragu-ragu apakah Tuhan benar-benar exist (ada) atau inexsist (tidak ada)
[6] Big bang (ledakan besar) adalah teori fisika yang menjelaskan awal mula waktu. Lebih lanjut baca the brief history of time oleh Stephen Hawking