Kondisi Pengungsi Syiah Sampang Kini

Konflik bernuansa SARA yang melibatkan kelompok Islam aliran   Sunni dengan kelompok beraliran Syiah di Kabupaten Sampang, Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur. Peristiwa tersebut terjadi pada 26 Agustus 2012 yang menelan 1 korban jiwa, 6 orang luka-luka dan 47 rumah warga pengikut syiah ludes dibakar massa yang melakukan penyerangan. Akibat kejadian tersebut, setidaknya 282 warga pengikut syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Sampang harus mengungsi karena konflik berdarah yang melanda desanya tersebut.

Menurut hasil dari penelitian Hasyim menyebutkan ada delapan dampak sosial yang terjadi akibat konflik bernuansa Sara antara kelompok Islam Syiah dan kelompok Islam Sunni di Sampang, Madura, Jawa Timur yang terjadi pada Tahun 2012 tersebut yaitu : Pertama, kehilangan tempat tinggal dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan sejak kecil. Harus terusir dari tanah leluhur mereka untuk sementara waktu atau bisa juga untuk waktu yang belum bisa ditentukan. Jika masyarakat diwilayah desa mereka tidak bersepakat untuk damai dan menerima mereka kembali, maka dapat dipastikan mereka tidak akan dapat kembali lagi ke kampung halamannya. Kedua, kehilangan sumber mata pencaharian. Sebelumnya, mayoritas mata pencaharian mereka adalah petani yang tentunya sangat tergantung dengan lahan yang dimiliki di desanya sebagai sumber ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada saat mereka harus dipindahkan dari desanya dan harus tinggal di pengungsian, maka mereka sudah tidak lagi memungkinkan menggarap lahannya di desa asal. Sementara untuk nasib ternaknya terpaksa harus dijual untuk menyelamatkan asetnya. Untuk menambah penghasilan di pengungsian, sebagian aktivitas mata pencahariannya yang dilakukan oleh para pengungsi hanya mengandalkan sebagai buruh di pasar Puspa Agro dengan penghasilan yang tidak menentu. Di antaranya mereka bekerja sebagai pengupas kelapa dan buruh angkut barang dengan upah yang minim, itupun tidak setiap hari dapat mereka lakukan karena harus menyesuaikan barang datang.

Ketiga, Tercipta ketergantungan dengan pihak lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di pengungsian mereka mendapat disubsidi dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur berupa dana Jaminan Hidup (JADUP) yang diambil dari APBD sebesar Rp709.000 perjiwa. Hanya saja pengungsi tidak tahu hingga kapan subsidi ini akan diberikan. Karena pencariannya juga tidak rutin dalam setiap bulannya, sering kali bantuan tersebut beberapa bulan tidak cair. Pada saat yang sama, pengungsi dengan kondisi yang mengalami banyak keterbatasan juga secara umum tidak memiliki rencana alternatif untuk mendapatkan income seandainya subsidi ini dihentikan.

Keempat, Terganggunya pendidikan anak-anak dalam pengungsian. Saat ini di tahun 2019, ada sekitar 60 usia sekolah mulai dari jenjang SD hingga SMA yang difasilitasi sekolah di desa sekitar pengungsian. Sementara yang TK dan PAUD difasilitasi sekolah di dalam komplek rumah Susun diperuntukkan khusus bagi anak pengungsi. Kondisinya pun jauh dari standart kualitas pendidikan. Karena keterbatasan dalam banyak aspek, mulai dari ruang kelas dan juga guru yang mengajar. Tentu ini bukan hal yang mudah bagi guru untuk mendidik para siswa dalam satu kelas dengan tingkatan kemampuan dan usia yang beragam. Apalagi fasilitas yang dimiliki juga sangat terbatas. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka akan sangat berpengaruh pada perkembangan psikologis anak, dan selanjutnya akan sangat berdampak pada rendahnya Sumber Daya Manusia bagi generasi mendatang yang sekarang mengungsi ini.

Kelima. Bagi anak-anak, mengalami gangguan psikologis karena mereka berada dalam pusaran konflik secara berulang-ulang. Dampaknya anak-anak akan terbiasa dalam kondisi kekerasan, sehingga bukan tidak mungkin mereka kelak akan tumbuh menjadi anak yang bermental kasar dan frontal yang diakibatkan oleh akumulasi pengalaman kekerasan yang dialami.

Keenam, terpasung kebebasan dasar mereka. Dalam pengungsian, mereka menjadi kelompok yang teralienasi dari masyarakat. Padahal Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi satu sama lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Keberadaannya di pengungsian, membuat mereka mengalami keterbatasan dalam hal berinteraksi. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk berinteraksi dengan komunitas di luar pengungsi. Lebih-lebih pada anak yang memerlukan stimulan interaksi dari masyarakat lebih luas lebih dari sekedar komunitasnya di pengungsian untuk mendukung pengembangan dirinya, secara mental maupun sosial.

Ketujuh, Terbatasnya akses layanan sosial kesehatan. Sejak keberadaan mereka di pengungsian Puspa Agro, sudah terdapat sebanyak 5 Ibu yang melahirkan. Tragisnya, mereka melahirkan di tempat tinggalnya di pengungsian tanpa di dampingi oleh tenaga medis. Padahal melahirkan merupakan saat yang sangat beresiko dan sejumlah kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Untungnya mereka bisa menjalani persalinan dengan selamat.

Kedelapan, dampak lain yang harus menjadi perhatian dalam jangka panjang adalah terjadi pemiskinan yang akan dialami oleh para pengungsi, karena mereka tidak memiliki kepastian penghasilan maupun kepemilikan aset. Aset lama yang berada di tempat tinggal asal tidak terkelola dengan baik, sementara di pengungsian tidak cukup memiliki kesempatan untuk memperoleh aset kehidupan yang baru. Sedangkan Subsidi dari Pemerintah hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif sehari-hari.

Jadi, kedepalan dampak sosial yang dialami korban konflik bernuasa Sara dalam kelompok Islam Syiah ini, merupakan akibat dari peristiwa yang terjadi pada 26 Agustus 2012 tersebut yang dipicu oleh politik kuasa kelompok mayoritas, yakni Sunni yang tidak menginginkan paham Syiah berkembang di Sampang, Madura. Fatwa MUI bahwa Syiah merupakan aliran sesat menjadi dasar bagi masyarakat Sampang untuk mengusir kelompok ini, termasuk mengusir mereka dari tanah kelahirannya. Akibat dari semua peristiwa tersebut sampai detik ini para pengungsi syiah sampang harus menjalani kehidupan di Rumah Susun Jemundo, Sidoarjo.

Rumah susun Jemundo yang terletak di kabupaten Sidoarjo tepatnya berada di kawasan Pasar Induk Puspa Agro yang beralamat di Jl. Sawunggaling 177-183 Jemundo, Kecamatan Taman, Sdoarjo. Di dalam komplek Puspa Agro terdapat beberapa bangunan megah di sekitar Rumah Susun yang di tempati oleh pengungsi syiah sampang, mulai dari pasar, balai pertemuan, perkantoran, laboratorium, mini market dan juga dua buah rumah susun yang berwarna biru dan merah. Rumah susun yang ditempati oleh pengungsi Syiah Sampang berwana biru, memiliki lima lantai dan terdiri dari 76 kamar di blok A dan 76 kamar di blok B, jadi jika total kamar berjumlah 152 kamar. Jumlah pengungsi Syi’ah Sampang yang berjumlah 82 KK. kurang lebih hanya 76 kamar, yang lain ditempati oleh penyewa, sebagian juga ditempati pengungsi WNA dari Timur Tengah. Barulah setelah meletusnya konflik berdarah Sunni-Syiah di Sampang, Madura. Rumah susun ini digunakan untuk relokasi atau pengungsian bagi warga Syiah yang sebelumnya menghuni Gedung Olahraga Kabupaten Sampang. Para pengungsi mulai menghuni Rusun ini pada hari Kamis, 20 Juni 2013.

Rusun yang terdiri dari dua bangunan besar berlantai lima ini dindang dan temboknya sudah mulai mengelupas, selain itu cat temboknya juga sudah mulai memudar. Kondisi bangunan yang demikian sebenarnya sangat membahayakan para penghuni yang menempatinya, tetapi bagi mereka yang telah tinggal cukup lama disana seperti sudah terbiasa dengan kondisi tersebut. Pada bagian lantai bawah gedung terdapat jejeran motor milik para pengungsi dan juga milik warga sekitar yang menyewa rusunawa, umumnya mereka yang bukan pengungsi menempati kamar lantai 2 gedung B sedangkan lebihnya tinggal di gedung A. Kondisi kehidupan antara warga yang bukan pengungsi dengan mereka yang pengungsi berjalan cukup harmonis dalam kesehariannya. Mereka hidup berdampingan dalam berbagai aktivitas termasuk dalam bidang keagamaan, seperti kegiatan belajar dan mengaji anak-anak yang dilakukan di lantai 5 atau dibagian lantai bawah gedung tersebut.

Untuk ruang kamar yang ditempati oleh pengungsi berukuran 6×6 meter dimana ruangan tersebut digunakan sebagai ruang berkumpulnya keluarga, ruangan tamu, dan juga di fungsikan seabagi dapur. Untuk kebutuhan MCK tersedia fasilitas air dengan menggukan pompa air yang di kelola oleh pihak rusun, walaupun pasokan airnya sering terlambat. Sementara itu untuk memenuhi kehidupan ekonomi sehari-harinya para pengungsi bekerja serabutan di sekitar rumah susun seperti kuli angkut, parkir, tambal ban dan berdagang. Bantuan dari Pemerintah Daerah Jawa Timur juga masih diterima oleh para pengungsi walaupun jadwal pencairannya tidak menentu, hal itu menyebabkan para pengungsi tidak bisa hanya berharap pada bantuan tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur memberikan bantuan Tunjangan Hidup (JADUP) yang diterima oleh para pengungsi sebesar Rp. 709.000.00 yang diambil dari APBD karena dalam permasalahan ini merupakan kebijakan yang disetujui oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kasubag Pencegahan Konflik Bakesbangpol Jawa Timur Bapak Suwisyono mengatakan bahwa bantuan yang diberikan tersebut sebagai pengganti dari bantuan nasi bungkus yang disediakan oleh tim TAGANA yang dinilai kurang efektif untuk para pengungsi. Tetapi dalam kenyataannya dilapangan bantuan yang seharusnya diterima oleh para pengungsi secara rutin, malah sangat tidak sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Terkadang sampai beberapa bulan bantuan tersebut belum dicairkan.

 

Abdul Rozak

BA 9 Surabaya