Ditulis oleh Musfira Muslihat (PM BAKTINUSA 9 Yogyakarta)
Perkenalkan kami Penerima Manfaat Baktinusa yang ditugaskan melakukan program marching for boundary di Malaka, Nusa Tenggara Timur. Saya Musfira dari UGM dan bersama Farida Utami Ritonga dari IPB. Tepat tanggal 29 November 2019 kami mendarat di Kupang. Suhu mencapai 38°C. Kami sebelumnya yang tinggal dilingkungan mayoritas Islam, tetiba bertemu banyak orang yang menggunakan salib. Saat itu saya mengingat guru SD saya yang seorang nasrani dan mengajarkan saya baca tulis. Dibandara kupang saya pun tidak kesulitan untuk mendapatkan mushola yang nyaman. Lambat laun kami memahami arti toleransi, yaitu tetap taat pada pilihan agama masing-masing dan tetap membiarkan orang lain nyaman melakukan perintah agamanya.
Akhirnya kami harus bersegera menuju Betun, Malaka. Beranjak dari Bandara menuju Pool Travel yang akan memberangkatkan kami ke Malaka. Kami memperoleh banyak pengalaman sepanjang perjalanan pengabdian kemanusiaan kami. Lalu cerita kami dimulai, saat kaki sudah beranjak di Betun, Malaka. Saalah satu masyarakat dengan mayoritas Islam di Malaka Tengah, yaitu kabupaten yang baru berdiri sejak tahun 2013.
Pelaksanaan FGD dengan topik strategi penggerak Taman Baca Al Qadr.
FGD diikuti oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat, beserta pemuda Masjid Al Qadr.
Silaturahmi dengan penduduk muslim minoritas dan mualaf di kelurahan Weoe dan Metamauk
Hari pertama kami di Malaka, tepat 30 November 2019. Subuh di sini jatuh pukul 03.40 dini hari. Beradaptasi dengan lingkungan baru dan menerima sambutan hangat masyarakat. Kami belajar dengan masyarakat, mengunjungi satu-persatu, dan memvalidasi program yang akan kami lakukan bersama dengan masyarakat.
Mayoritas pendidikan di Malaka adalah pendidikan negeri dengan mata pelajaran Agama Katolik. Satu-satunya pendidikan berbasis agama islam di Malaka adalah MI dan MTS Al-Qadr yang merupakan sekolah swasta di bawah Yayasan Al-Qadr. Perjalanan kami pun dimulai dengan pertemuan kami dengan kepala sekolah, bu yance. Beliau seorang guru honorer dan kepala sekolah didua sekolah, MI dan MTs Al-Qadr. Beliau merupakan seorang mualaf dan kini kerap dipanggil dengan nama bu Nur. Saat kami bertemu beliau, beliau pun menceritakan jika banyak guru honorer yang hanya digaji seadanya (sekitar Rp 300.000- Rp 400.000) tapi masih semangat memberikan pembelajaran bagi murid-murid, adapula guru yang sudah menjadi PNS tapi tetap mengabdikan diri diyayasan. Kami hanya menggeleng kepala, mengelus dada, dan menampar diri sendiri karena merasa belum berbuat sejauh itu dalam mengabdikan diri kemasyarakat.
Selanjutnya kami bertemu dengan Bu Deli, kami bertemu beliau dalam rangka membangun jejaring tokoh masyarakat dimajelis rutin sabtu sore Masjid Al-Qadr. Bu Deli merupakan istri dari Pak Hendri, selaku ketua yayasan Al-Qadr. Disela-sela itu pun kami bertemu ustadz Heri dan Pak Hendri yang merupakan tokoh agama dan tokoh masyarakat di Betun. Ustadz Heri asli Madura, lalu sempat berkuliah pendidikan agama Islam di Muhammadiyah Makassar hingga merantau ke Malaka. Sedangkan Pak Hendri merupakan pedagang dari Padang yang membuka warung makan padang di Malaka, beliau pun menjadi pengelola dan ketua di Yayasan Al Qadr. Diakhir percumpaan kami dari beberapa tokoh tersebut, kami mendapatkan sepotong pelajaran dari Malaka, daerah tertinggal, terluar, dan terdepan di Indonesia. Ada saja orang yang masih peduli dengan pendidikan Indonesia, di tengah masih kurangnya SDM yang mengabdi jangka panjang didaerah 3T. Dilain sisi, kami pun bertemu Arini, seorang anak yang jauh dari keluarganya dan tinggal diasrama sederhana milik yayasan, ia jauh dari keluarganya demi belajar agama.
Program yang kami lakukan yaitu program liburan MTs, pendampingan penggerak dan fasilitas Taman Baca Masyarakat, dan seminar kepemudaan. Program liburan MTs merupakan program kepemimpinan dengan tagline “MTs Al Qadr, Saya Pemimpin”. Selanjutnya kami melakukan pendampingan pada penggerak Taman Baca Masyakarat (TBM) berupa Training for Trainer. Materi Training for Trainer, yaitu sistem dan kepengurusan organisasi, manajemen TBM, program TBM, serta simulasi musyawarah. Peserta TfT merupakan bakal calon pengurun TBM yang sebelumnya direkomendasikan oleh masyarakat sekitar dan guru islam SMAN Harekakae, yaitu satu-satunya Sekolah Menengah Atas yang menyediakan pendidikan agama islam bagi siswa yang beragama islam. Selain itu output dari program pendampingan tersebut adalah Buku Pedoman Taman Baca Masyarakat Al-Qadr, yang diharapkan sebagai bentuk ikhtiar program yang berkelanjutan bagi masyakarat. Dilain sisi, kami melakukan seminar kepemudaan untuk siswa muslim SMA Harekakae, diharapkan dari pertemuan singkat tersebut dapat menjadi langkah awal untuk menyiapkan regenerasi penggerak Taman Baca Masyarakat.
Traning for Trainer untuk Calon Penggerak TBM
Pemaparan di atas hanya merupakan output dari program yang kami lakukan. Sedangkan proses yang kami lakukan lebih bermakna daripada output yang diperoleh. Diawal program, kami mencoba memvalidasi apakah program TBM dibutuhkan masyarakat dan mencari tahu siapa saja yang dapat diproyeksikan untuk menjadi penggeraknya, namun diawal validasi program kami menemui beberapa tokoh masyakarat yang menaruh pesimis bahwa “tidak mungkin” TBM dapat memiliki penggerak yang berkelanjutan. Walau begitu kami mencoba menyakini diri sendiri dan tetap selalu mendengarkan masyarakat. Program MFB bukan menjadi sarana untuk membuktikan bahwa kami adalah “pahlawan” dimasyarakat, bukan, program MFB merupakan sarana untuk menumbuhkan dan mengokohkan jiwa pemimpin penerima manfaat Baktinusa. Sehingga pihak yang mendapatkan manfaat terbanyak dari program tersebut adalah PM Baktinusa, bukan masyarakat. Sedangkan jika masyarakat memperoleh manfaat dari program MFB, maka hal tersebut merupakan bentuk keberkahan dari program tersebut, aamiin.
Diakhir program MFB, kami melakukan silaturahmi dengan mualaf diperbatasan, seperti di Kletek, Weowe, dan Metamauk. Sedikit pemaknaan yang saya dapatkan yaitu tentukan strategi untuk umat. Saat kami bersilaturahmi, satu hal yang sama dan yang diinginkan oleh saudara-saudara seiman kita diperbatasan, yaitu ustadz yang mendampingi perihal keagamaan. Harus ada orang-orang yang turun dipedalaman, cukup bekalnya, dan didukung keluarganya. Karena mereka membutuhkan figur yang dermawan dan berakhlak mulia. Menginginkan agar teman-teman mualaf diteguhkan imannya. Layaknya seorang bayi yang baru menghirup udara segar, ia bisa bernafas tanpa diajari, tapi ia membutuhkan ibu yang merawat dan menuntunnya.
Seusai silaturahmi, terbersit dipikiran “bagaimana mengatasi masalah ini?”. Harapannya mereka tidak hanya diberikan donasi sembako tapi pembinaan. Namun banyak orang yang tidak mau terjun dipelosok. Faktor pertamanya karena “tanpa kenyamanan”, sulit mendapatkannya. Suhu di sana berkisar 35°C-40°C, subhanallah panasnya. Perekonomian melambat, bahkan lingkungan pun tanpa masjid, mereka minoritas. Orang-orang yang bisa nyaman, biasanya karena dukungan orang lain, pengalaman yang memperkuat, dan letak geografis yang mendukung. Faktor kedua “tidak memiliki alasan tuk tinggal”. Biasanya orang-orang yang terjun kepelosok karena memiliki alasan dasar, seperti kekerabatan, tugas dari instansi, didesak masalah diwilayah asal, atau bekal untuk mendukung jiwa pengabdian dipelosok
Alhamdulillah dari MUI setempat berusaha mengoptimalkan peran penyuluh. Diharapkan penyuluh minimal seminggu sekali (dengan ikhlas) datang untuk memberikan penguatan keislaman. Jarak lokasi penyuluh ke lokasi Weoe berkisar 45menit. Disisi lain pun penyuluh biasanya dari ekonomi menengah. Barangkali langkah-langkah seperti inilah untuk saling bermitra sesama umat Muslim, mulai dari pengusaha atau investor Kaya di Kota, pemerintah, dan badan zakat. Demi mensyiarkan Islam, agar semakin banyak saudara kita di surga nanti.
#kerjakerjakeabadian #sebulanmengabdiseumurhidupmenginspirasi #mfb #malaka #ntt