Ditulis oleh Musfira Muslihat (PM BAKTI NUSA 9 Yogyakarta)
Apa yang Anda bayangkan tentang remaja? Seorang anak yang sedang kasmaran, lebay atau anak nakal yang gemar tawuran, penuh gejolak, pengambil resiko, dan ingin menjadi lebih hebat dibandingkan teman-temannya yang lain. Inilah stereotip mengenai remaja. Anggapan mengenai remaja yang menyimpang dan abnormal sudah tergambarkan di tengah masyarakat. Stereotip ini terjadi menurut Adelson karena adolescent generalization gap, yaitu keadaan orang dewasa yang mempunyai anggapan remaja erat kaitannya dengan konflik karena pemikiran pendek mengenai remaja. Selain itu, disebabkan karena pemberitaan media yang sensasional jika remaja sering melakukan pemberontakan.
In no order of things is adolescence the simple time of life
-Jean Erskine Stewart-
Lantas, apa itu remaja? Menurut kamus bahasa Indonesia remaja adalah dewasa; umur yang sudah sampai untuk kawin, namun dalam pandangan sociocultural, remaja dianggap sebagai fenomena sosial. Bahkan P. Musgrove mengganggap bahwa remaja menyelinap begitu saja dalam kehidupan kita. Dengan kata lain kemunculan remaja dipengaruhi oleh sejarah sosial dan budaya yang terjadi saat itu. Salah satu penelitian yang menjelaskan hal ini yaitu penelitian yang dilakukan Margaret Mead. Mead merupakan seorang antropolog yang mengobservasi remaja di Samoa. Observasi Mead menyimpulkan jika adanya sosial-budaya yang membolehkan kebebasan untuk melakukan hubungan seksul, menganggap kematian adalah hal yang normal, dan mengetahui dengan jelas perbedaan peran orang dewasa nantinya, maka remaja akan terbebas dari stressful. Bebas dari stressful inilah sebagai tanda jika masa remaja yang memberontak dan penuh gejolak tidak ada. Walau penelitian ini dikritik hebat namun masih ada peneliti lain yang membela karya Mead.
Remaja merupakan kreasi sosial sejarah. Remaja dalam sejarah menjelaskan, pada abad pertengahan jika remaja tidak dibedakan statusnya dengan orang dewasa, sehingga pemberlakuan disiplin juga sama dan fenomena remaja tidak tampak. Remaja merupakan kreasi sosial sejarah. Konsep remaja kembali muncul ketika filsuf dan peneliti menyakini jika remaja tidak sama dengan orang dewasa. Remaja merupakan kreasi sosial sejarah. Konsep remaja diyakini muncul oleh ahli sejarah antara 1890-1920 berupa ketetapan undang-undang di Amerika, seperti kewajiban bersekolah dan melarang bekerja. Namun sebaliknya, pada perang dunia I, II, dan revolusi industri remaja dipandang sebagai serdadu perang dan sudah matang. Hingga pada abad keduapuluh remaja digambarkan sebagai abnormal dan menyimpang. Sejarah mencoba menjabarkan jika remaja merupakan fenomena yang muncul karena pengaruh sosial-budaya.
Penjabaran di atas belum tentu penyebab steorotip yang melandasi fenomena remaja tidak ada. Hingga sampai di sini, pahami jika remaja mungkin ada. Di Indonesia sendiri dari BPS (Badan Pusat Statistik) menyatakan bahwa ada 58 kasus perkelahian tahun pada 2011 dilakukan pelajar1, dari Badan Narkotika Nasional pada tahun 2014 menyebutkan 22 persen pengguna narkoba adalah pelajar2, dan berita hangat beberapa minggu lalu mengenai tindak kriminal klithi pada remaja di Yogyakarta. Dari beberapa uraian data tersebut tergambarkan jika fenomena remaja ada di Indonesia.
Menurut Steinberg (2010)3 jika remaja merupakan masa transisi: biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Santrock menambahkan perspektif lain dari remaja, yaitu moral dan religion. Remaja terbagai atas empat tahapan, yaitu early adolescence (10-13 tahun), middle adolescence (14-17 tahun), late adolescence (18-21 tahun), emerging adulthood atau youthhood (18-25 tahun). Hayo, kamu remaja pada tahap mana?, atau kamu yakin kamu remaja?. Masa transisi inilah yang memiliki karakteristik pada biologis, psikologis dan sosial, kongitif, juga moral dan spiritual4. Dengan menyimak karakteristik ini (insya Allah) kamu bisa lebih menyakini apakah kamu benar-benar remaja atau tidak.
Biologis
Dari perspektif biologis mengungkapkan jika gen, hormon, dan otak memengaruhi fenomena remaja yang sudah dijabarkan di atas. Pada umumnya, perspektif ini menganggap jika saat remaja terjadi pubertas, salah satunya terjadi perubahan fisik yang biasa disebut pertumbuhan primer dan sekunder pubertas, hal ini dipengaruhi oleh hormon dan genetik. Perubahan fisik mengalami lonjakan pertumbuhan. Lonjakan tersebut dipengaruhi oleh aktivasi yang dilakukan otak, yaitu pada hipotalamus dan menyebabkan terjadinya banjir hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin dan kelenjar gonad (kelenjar seks). Inilah yang memengaruhi pertumbuhan dan perilaku remaja. Tidak hanya tinggi, berat badan, tapi juga kematangan sosial dan perilaku pun juga berubah. Kok bisa?
Telah disebutkan sebelumnya jika ada lonjakan pertumbuhan, lonjakan mengindikasikan adanya perubahan yang terjadi secara cepat. Perubahan yang menonjol inilah yang membuat remaja cenderung untuk memerhatikan dirinya dan terbentuklah self image. Perspektif ini menjelaskan jika wajar remaja tertarik fashion, berdandan, dan memerhatikan penampilannya karena perubahan fisik terasa sangat jelas. Secara sempit, ini dapat dijadikan asumsi munculnya remaja lebay karena menanggapi perubahan ini secara berlebihan.
Ada asumsi lain dari perspektif ini, yaitu perkembangan otak. Kalian tahu otak?. Jelas tahukan yahh. Pada otak kita terdapat amigdala yang salah satu fungsinya untuk mengatur emosi, sedangan terdapat prefrontal korteks yang salah satu fungsinya untuk membuat perencanaan dan kematangan berpikir. Nah, pada remaja amigdala lebih dulu matang dari pada prefrontal korteks. Ini sebagai argument jika remaja yang penuh gejolak dan taking risk disebabkan karena perkembangan otak yang terjadi.
Psikologis dan Sosial
Jika berbicara psikologis dan sosial remaja, ini menarik. Dari penjelasan biologis pun sudah menjabarkan manifestasi perilaku yang merujuk pada psikologis dan sosial. Ada sebagian remaja yang mampu mengatasi tantangan pada lonjakan pertumbuhan. Hal ini dipengaruhi oleh kognitif dan sosial atau lingkungan.
Banyak tokoh psikologi yang membahas mengenai remaja, seperti Erik Erikson. Menurut teori perkembangan Erikson, remaja termasuk pada tahap ke lima dari teorinya, yaitu adanya krisis antara indentity versus indentity confusion. Tahap ini menjelaskan jika adanya perubahan pada remaja yang dihadapkan banyak peran. Diantaranya remaja berperan sebagai seorang siswa, seorang anak, atau seorang teman. Jika remaja mampu mengeksplorasi peran-peran tersebut maka akan terbentuk indentitas positif, dan sebaliknya jika remaja kurang mengeksplorasi peran-peran tersebut maka akan terbentuk indentitas negatif.
Dinamika psikologis yang juga berpengaruh pada sosial remaja. Sosial pada remaja erat kaitannya dengan keluarga, teman sebaya, sekolah, dan budaya. Keluarga merupakan elemen awal yang bertindak untuk mengontrol perubahan yang terjadi. Pada konsep ini keluarga harus menyiapkan pemahaman seorang anak sebelum menjadi remaja dan juga memberikan afeksi agar anak merasa nyaman atas dirinya sendiri. Hal ini berkaitan dengan keterlibatan orang tua pada keluarga dan teman sebaya. Ketika memasuki masa remaja, maka waktu anak akan lebih berkurang di rumah karena berada di sekolah atau dengan teman sebaya. Namun, hal ini bisa berbeda dimasing-masing individu karena perbedaan model pengasuhan yang dibentuk oleh orang tua dan kondisi keluarga.
Seorang remaja tidak hanya di rumah namun akan keluar untuk bersekolah dan bertemu teman sebaya. Sekolah dan teman sebaya merupakan ranah sosial yang waktu remaja banyak habiskan di sana. Self-image remaja pun terbentuk dari sini. Sekolah berperan menyediakan pendidikan untuk remaja dan bisa lebih dari itu. Kebijakan yang dikeluarkan sekolah dan budaya sekolah dapat memengaruhi sosial dan kesejahteraan remaja, sebagai contoh adanya kelas sosial yang membedakan miskin dan kaya atau jika secara tidak langsung terjadi bullying. Selain itu, teman sebaya pun ditemui di Sekolah. Remaja cenderung merasa nyaman berkumpul dengan teman sebayanya atau sebaliknya bisa terjadi konflik antar teman sebaya. Hal ini diasumsikan jika remaja masih memiliki sikap ingroup yang tinggi, belum menerima kelompok selain kelompoknya dan merasa terancam jika ada kelompok yang mengunggulinya. Disinilah remaja ingin meningkatkan eksistensinya dengan bergaul, berprestasi, atau berperilaku menonjol.
Kognitif
Hal ini sudah disinggung pada biologis, psikologis, dan sosial. Menurut teori perkembangan Piaget, remaja masuk pada tahap operational formal. Tahap ini memiliki karakteristik remaja yang berpikir idealis dan nalar lebih abstrak dan logis. Dimulai dari mengembangkan citra ideal, memikirkan pencapaian masa depan, dan ketika dihadapkan masalah maka akan dipikirkan secara sistematis, memunculkan hipotesis, selanjutnya hipotesis tersebut diuji secara deduktif.
Moral dan Spiritual
Perkembangan moral sangat penting di masa remaja karena perubahan yang terjadi pada remaja dapat memunculkan kontradiktif. Kontradiktif yang muncul dapat menganggu cara berpikir dan berperilaku remaja sehingga perkembangan moral yang matang diperlukan untuk mengetahui baik dan buruk. Teori mengenai moral pun ada, yaitu teori yang dikemukakan oleh Kohlberg. Teori perkembangan moral Kohlberg dimulai dari tingkatan 1 yang disebut penalaran prakonvensional yang terdiri dari tahap 1 dan 2. Selanjutnya tingkatan 2 yang disebut penalaran konvensional yang terdiri dari tahap 3 dan tahap 4. Tingkatan terakhir, yaitu postkonvensional yang terdiri dari tahap 4 dan 5. Teori ini menekankan hanya pada pemikiran moral dan kurang menekankan mengenai perilaku moral. Sementara itu, remaja umumnya masuk dalam tingkatan penalaran konvensional. Pada tahap 3 yang disebut interpersonal norm menjelaskan bahwa remaja akan melakukan penilaian moral yang dilandasi oleh rasa percaya, rasa sayang, dan kesetiaan. Sedangkan tahap 4 atau social system morality yaitu penilaian moral yang dilakukan remaja atas dasar pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan, dan tugas sosial.
Tidak hanya moral, spiritual pun sangat penting dalam perkembangan remaja. Hal ini dikarenakan moral dan spiritual dapat memengaruhi remaja dalam hal pikiran, perasaan, dan tindikan. Sehingga membantu mengatasi perubahan yang terjadi baik dari biologis atau sosial. Menurut Elisabeth5 dalam penelitiannya yang berjudul Developing Spirituality in Adolescents, ada tiga proses dalam perkembangan spiritual remaja. Pertama awareness dan awakening pada proses ini remaja akan sadar mengenai siapa dirinya sendiri, orang lain, dan alam semesta lebih jauh akan menumbuhkan indentitas, makna, dan tujuan. Kedua interconnecting dan belonging, pada proses ini remaja akan mencari, menerima, dan mengalamai experience significance dengan orang lain, dunia, dan hubungan makna tuhan. Proses ketiga yaitu a way of living, remaja akan mulai mengungkapkan nilai-nilai, indentitas, dan kreativitas yang asli dari keyakinannya dan berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, komunitas, dunia, atau hal-hal yang berhubungan dengan transenden atau yang berhubungan dengan tuhan. Salah satu responden dari penelitian ini, yaitu seorang pemuda dari Afrika berkata “If you are not spiritual, then you don‘t ever struggle with things, you don‘t make a choice or ask, why did this happen to me?‘ If you are not spiritual you will never learn anything … goes together with wisdom … you have to reflect on what‘s happening to you”. Lerner pun menambahkan jika spiritual dapat menjadi kekuatan untuk membangun healthy communities dan perkembangan spiritualitas remaja merupakan bagian penting untuk membangun healthy communities.
Mari kita simpulkan. Jadi untuk menyakini kamu remaja atau bukan bergantung atas perspektif mana yang akan digunakan. Namun, hal yang lebih penting yaitu bagaimana ditahap perkembangan yang sedang kita lewati, kita mampu untuk mengetahui diri sendiri dan mengatasi stressor yang akan menghampiri untuk melewati jalan kehidupan ini, dan jangan lupa untuk berkontribusi positif pada sekitar.
Sumber
3Steinberg, Lawrence. 2002. Adolescence. Sixth edition, New York: McGraw Hill Inc.
4Santrock, J. W. (2001). Adolescence: perkembangan remaja (Edisi Ke-6). Jakarta: Penerbit Erlangga
5http://www.stu.ca/~spirituality/documents/LisaKimball-evelopingSpiritualityinAdolescents.pdf