Yonatan Y. Anggara
Pernahkah kita sadar, jika ternyata orang-orang terdahulu yang dikenal sangat produktif itu punya gadget yang super canggih.
Gadgetnya memiliki konektor yang ribet, belum lagi jaringan jaringan nya terhubung satu sama lain berputar putar. Ribet.
Mereka dihubungkan dengan prosesor canggih yang punya memori sebesar 10 juta Gigabyte.
Merek gadget itu adalah, tangan.
Hebat bukan?
Dengannya Ibnu Main meninggalkan 100 rak buku dan 14 wadah besar berisi karya tulisnya selama ia bermukim di bumi. Ia hidup bukan di era milenial tapi kolonial. Era dimana belum ada google schoolar, belum ada linkdin, ataupun e-book. Era itu yang ada adalah sumber data sekunder berupa manuskrip yang harus detelisik dahulu atau sumber data primer yang harus di in depht interview. Ah untung masih ada gadget canggih itu.
Dengan gadget itu Ibnu syahim menulis sebanyak 330 karya dan ibnul jauzi yang merampungkan 500 bukunya. Tentu saja pada kurun itu belum ada gmail, ymail, whatsapp atau line. Untuk menemui sumber tulisanya ia harus datang langsung ke narasumber utama nya. Tak jarang jarak nya cukup jauh, ditambah belum adanya gojek atau grab.
Ah untung saja ada gadget canggih itu.
Dengan gadget itu ibnu Taimiyah menyumbang buku “yang mustahil bagi seseorang untuk menghitung banyaknya buku bliau” kata ibnu Rajab . Tentu saja ia hidup di zaman saat jarak masih jadi penghalang utama. Tidak seperti sekarang yang bisa saja tinggal voice note, live streaming, atau vidio call buat nyari referensi baru. Ah untung saja ada gadget canggih itu.
Lalu hari ini, gadget keren bermerek tangan dengan fitur tambahan berupa android dengan fasilitas kamera, telfon, google schooler milik kita itu sudah menghasilkan karya apa? Mari merenung.
Ternyata yang membedakan kita dan mereka bukan tentang fasilitas. Tapi sinyal. Yap sinyal ulama terdahulu sangat kuat melampaui 4G, namanya berkah. Sinyal di gadget bermerek “tangan” milik mereka Menembus langit. Kamu tahu alasanya?
Allah. Yap Allah. Mereka mencari pemancar terbaik untuk gadget mereka. Seperti halnya imam bukhari yang sebelum semua tulisanya di goreskan ke kertas, ia menyalakan hubunganya kepada Allah melalui sholat dua rokaat. Kalau di bukunya ada sekitar 7653 hadist berati ia telah melakukan sholat sebanyak 15.306 rakaat.
Demikian juga Imam An-Nawawi tatkala menulis Majmu’ Syarh al-Muhaddzab. Ibnu Hazm Al-Andalusiy tatkala merampungkan al-Muhalla bi al-Âtsâr, juga Imam Adz-Dzahabi saat menulis syarah dari kitab Ihyâ ‘Ulum al-Dîn karya Bukhari. Dua rakaat sholat sunnah senantiasa mereka lakukan sebelum menggoreskan pena mereka ke lembaran kertas.
Makanya sinyal berkah itu terus memancar menembus waktu, menembus zaman.
Kalau Allah yang menjadi tujuanya, tidak ada karya yang tidak istimewa.