Kembara Rindu

Review Buku Kembara Rindu karya Habiburrahman El Shirazy

Oleh: Nadya Anggraini

Setelah Diana pulas, keharuan Ridho meledak. Mata pemuda itu bekaca-kaca. Ia menyadari dirinya sedang ada di dalam kereta, duduk di samping putri bungsu Kyainya. Ia baru saja meninggalkan pesantren . Ia dalam perjalanan pulang. Inilah hidup, tidak ada yang tetap selamanya. Ia tidak mungkin terus tinggal di pesantren jadi santri sepanjang hayatnya. Matahari terus berputar pada garis edarnya. Bumi berputar pada porosnya. Siang dan malam dating pergi bergantian. Ia teringat nasihat Simbah Kyai Nawir dalam salah satu pengajiannya.

“Santri-santriku, dalam pengembaraan mengarungi kehidupan dunia ini jadilah kalian orang-orang yang penuh rindu. Orang-orang yang rindu pulang. Jadilah seperti orang yang menggembara dan sangat rindu untuk segera pulang, itu berbeda dengan orang yang tidak merasa rindu, meskipun sama-sama berpergian. Orang yang didera rasa rindu, tidak akan membuang-buang waktunya di jalan, ia ingin segera bertemu dengan orang-orang yang dicintainya. Sebaliknya, orang yang tidak merasa rindu, mungkin dia mampir di satu tempat berlama-lama di situ, jadinya banyak waktu terbuang dan sia-sia.”

Begitulah dua paragraph sinpopsis yang tertulis pada sampul buku bagian belakang novel yang berisikan 266 halaman ini. Novel ini merupakan novel pertama dari Dwilogi Pembangun Jiwa karya kang Abik yang cetakan pertamanya diterbitkan oleh Republika Penerbit pada bulan September 2019.

Novel ini menceritakan tentang seorang Ridho yang merupakan anak yatim dan berasal dari kampung di daerah Lampung, ia sudah bertahun-tahun merantau menjadi santri di daerah Cirebon. Kepulangan Ridho sangat diharapkan karena ada dua adik sepupunya yang juga anak yatim, dua orang nenek yang sudah renta dan seorang kakek yang sedang terbaring sakit tidak sadarkan diri. Di pesantrennya Ridho merupakan santri yang juga sangat disayangi oleh Kyai-kyainya karena akhlaknya yang baik. Hingga akhirnya tiba saatnya Ridho mendapatkan kesempatan untuk pulang kampung dan menemui keluarganya dengan izin dan biaya dari Kyainya.

Detik ia berangkat untuk pulang kampung, detik itu pula perjalanan hidupnya yang sesungguhnya dimulai. Perjalanan untuk pulang kampung memerlukan waktu satu hari satu malam melalui jalur darat, Ridho tidak sabar untuk segera tiba di Way Meranti, tanah kelahirannya. Novel ini juga menceritakan perjuang Ridho dan adik sepupunya, Syifa untuk bertahan hidup dan juga menghidupkan adik dan kakek-nenek mereka hingga kemudian menjadi pemuda soleh yang sukses lagi inspiratif.

Namun novel ini belum happy ending karena kisah romansa Ridho belum diceritakan secara utuh, masih menggantung. Mungkin akan dikisahkan pada novel yang kedua dari Dwilogi Pembangun Jiwa. Pada novel pertama ini, kang Abik mengemas kisahnya sangat runut dan rinci. Caranya menggambarkan latar tempatnya begitu nyata, hingga membuat pembaca merasa sedang berada di lokasi yang diceritakan. Banyak juga nasihat-nasihat kehidupan yang patut direnungkan dan dijadikan pedoman. Setiap alur memiliki pesan yang bernilai keyakinan akan keagungan Tuhan, Aqidah sebagai seorang hamba serta moral ke sesama manusia.

“Di dunia ini kita seperti orang berpergian, orang yang mengembara. Dunia ini bukan tujuan kita. Tujuan kita adalah Allah. Kita harus memiliki rasa rindu yang mendalam kepada Allah SWT dan Allah akan membalas dengan kehangatan rindu dan ridha-Nya yang tiada bandingnya”, Satu nasihat yang paling berkesan bagi saya sendiri sebagai seorang pembaca. Bahwa sesungguhnya kita di dunia hanyalah sebagai perantau yang sejatinya memiliki kampung halaman yang sesungguhnya, yaitu akhirat. Maka sejatinya, haruslah kita memiliki rasa rindu untuk pulang ke kampung halaman. Sudah siap untuk pulang? sudah seberapa banyak oleh-oleh yang kita siapkan? entahlah saya juga masih menanyakan hal itu kepada diri saya sendiri.

Iya, Jangan lupa untuk mengoleksi novel yang saya ceritakan diatas, baca , kemudian resapi maknanya.