Aksi Mahasiswa Tidak Berguna?

Oleh Faris Hafizh Makarim

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!

Negera ini heboh setelah diguncangkan oleh rangkaian polemik revisi undang-undang (RUU) KPK yang dinilai melemahkan lembaga yang punya tugas utama menihilkan korupsi di Indonesia.  Tempo hari, ribuan mahasiswa berkenjung ke gedung DPR di Jakarta untuk bertamu, walaupun cukup sulit untuk sekadar bertamu—butuh menekan bel ‘rumah’ para wakil rakyat ini selama berjam-jam sebelum bisa dipersilahkan masuk. Roller coaster emosi dirasakan para mahasiswa dalam melihat kondisi bangsa: senang, sedih, takut, penuh harap, dan lain-lain. Gerakan-gerakan sosial politik—unjuk rasa, demonstrasi, pengawalan kebijakan pemerintah—itulah yang menjadi citra gerakan mahasiswa dari dulu hingga hari ini. Ya, walaupun setelah 1998, gerakan sosial politik atau sebut saja gerakan advokasi kebijakan ini trennya menurun karena sudah dirasa tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman—katanya. Namun abang-abang kita juga selalu bercerita tentang loop pergerakan mahasiswa 20 tahun sekali yang sudah berulang dari tahun 80-an. “Sekitar tahun 2019 dan 2020 ini akan terjadi sesuatu yang besar dan dilakukan oleh mahasiswa,” kata abang-abang saya 1 tahun yang lalu. Mungkin kata-kata itu sedikit terbukti pada hari-hari ini. Kita percaya bahwa kebijakan mereka dapat mengubah banyak hal. Maka dari itu, mahasiswa memberikan suara-suaranya agar terjadi dapat terealisasi memakai kekuatan posisi kepemimpinan yang berlaku. Namun, apakah gerakan kita sudah bisa dibilang lengkap dengan hanya mengetuk pintu para pemimpin kita? Dalam koridor pemberantasan korupsi, apakah dengan memberlakukan kebijakan antikorupsi, Indonesia dapat menuntaskan korupsi secara menyeluruh?

Mari kita lihat sebab dari korupsi itu sendiri: terusiknya integritas seseorang atau sekelompok orang sehingga terjadi penyelewengan dalam penggunaan dana atau aset yang dimiliki bersama. Siapapun bisa melakukan korupsi dan hal-hal tidak berintegritas, dari masyarakat elit, sampai rakyat kecil. Beberapa waktu yang lalu saya baru bertemu orang-orang yang memegang kebijakan besar di salah satu kampus di Indonesia dan mereka mengaku bahwa mereka juga melakukan praktik tak berintegritas sewaktu mereka menjadi mahasiswa—sontek-menyontek. Saya pun tidak bisa mengatakan bahwa mahasiswa hari ini tidak melakukan praktik sontek-menyontek yang merupakan bibit-bibit korupsi skala negara. Praktik perlakuan tidak berintegritas juga kerap dilakukan oleh bagian-bagian masyarakat lainnya. Menurut Statistik Kriminal 2018, jumlah kejadian kejahatan terkait penipuan, penggelapan, dan korupsi yang dilakukan masyarakat Indonesia berjumlah 47.594 kali pada tahun 2017. Ternyata korupsi adalah sebuah kebiasaan—kultur—kita sebagai masyarakat Indonesia. Penerapan kebijakan memang benar dapat memaksa masyarakat untuk menjadi orang-orang yang diharapkan kebijakan tersebut. Contohnya, ujian yang diberlakukan peraturan dan konsekuensi kecurangan yang sangat ketat pasti akan membuat peserta ujian tidak melakukan kecurangan, begitu juga sebaliknya. Kita bisa memberikan ketakutan untuk melakukan korupsi kepada seluruh masyarakat Indonesia dengan penerapan kebijakan yang ketat. Namun, apakah masyarakat kita baru bisa menentukan baik dan buruk saat ada peraturan dan konsekuensi yang berlaku saja? Fenomena ini mirip dengan kejadian anak-anak kecil yang baru merasa bersalah saat dihukum orangtuanya. Apakah moralitas masyarakat Indonesia hanya ada pada tingkat tersebut? Kebijakan besar sangat bisa menekan masyarakat Indonesia untuk tidak melakukan korupsi. Namun, tanpa pembudayaan masyarakat yang cukup untuk tidak melakukan korupsi, akan ada usaha-usaha pelemahan kebijakan antikorupsi di negeri ini, apalagi saat pemimpin-pemimpin kita ternyata tidak pro dalam pemberantasan korupsi.

Maka dari itu, advokasi kebijakan harus juga didampingi dengan pembudayaan di masyarakat secara bersamaan. Mulailah dari diri kita sendiri dengan melakukan hal-hal kecil yang sangat simpel: Tidak berbohong, tidak menyontek, menepati janji, membayar utang, memperbaiki sitasi tulisan kita, dan lain-lain. “Membangun diri, membangun negeri.” Itulah yang dikatakan Ricky Elson, sang pejuang karya dan teknologi nusantara. Setelah membangun diri, kita bisa menyebarluaskan dan menerapkan sikap antikorupsi ini ke sekitar kita: menegur teman kita yang menyontek, menyarankan sistem ujian anti-sontek kepada guru atau dosen kita, riset tingkat integritas masyarakat, menanamkan nilai antikorupsi kepada masyarakat, melakukan pendidikan antikorupsi kepada anak-anak di sekitar tempat tinggal kita, pergi ke desa-desa untuk memberdayakan masyarakat desa agar dapat menggunakan dana desanya dengan bijak, dan lain-lain. Pengabdian masyarakat sebagai solusi jangka panjang aksi-aksi momentual mahasiswa—saya rasa inilah yang kurang kita lakukan. Jelas, pergerakan besar mahasiswa selalu terulang setiap 20 tahun sekali. Setiap 20 tahun sekali ada pergerakan besar yang berhasil memperbaiki kebijakan nasional. Apa alasannya? Mungkin alasannya adalah karena keberhasilan pergerakan tersebut tidak didampingi dengan penerapan nilai-nilai yang ada pada kebijakan tersebut kepada masyarakat. Akibatnya, pergerakan tersebut runtuh sehingga terulang kembali pergerakan besar mahasiswa 20 tahun selanjutnya. Kita sudah memiliki aksi-aksi advokasi kebijakan sebagai titik awal. Maka kita harus memikirkan lagi apa strategi jangka panjang pembudayaan nilai antikorupsi kepada masyarakat yang harus dilakukan agar bisa melenyapkan korupsi di negeri ini secara menyeluruh.

Aksi mahasiswa tidak akan berguna jika hanya menjadi aksi reaktif yang momentual saja—aksi yang tidak berlanjut dan tidak memperhatikan strategi jangka panjang ke depannya. Kebijakan-kebijakan yang diadvokasikan akan runtuh pada masa depan jika kita tidak memiliki strategi jangka panjang untuk pembudayaan nilai-nilai yang diperjuangkan kepada masyarakat nusantara secara menyeluruh. Maka dari itu, pengabdian masyarakat butuh dilakukan oleh mahasiswa.