Lembaga Dakwah Kampus Sebagai Rumah Ukhwah Dan Inkubator Pergerakan Mahasiswa Islam Di Kampus

Pada awal masuk kampus, hal pertama kali yang ditanamkan oleh petinggi kampus semisal rektor atau dirmawa, bagaimana kita didorong untuk menjadi mahasiswa yang tidak hanya pintar secara akademik (hardskill), akan tetapi juga memiliki track record baik di non akademik yakni soft skill. Baik itu dibidang ekskutif atau peminatan unit kegiatan mahasiswa (UKM), sampai dengan dibidang legislatif tingkat universitas maupun fakultas. Apalagi awal masuk, kita sudah disambut dan sering bersinggungan dengan kakak BEM, aktivis-aktivis organisasi, baik internal ataupun bahkan eksternal yang siap menerkam, menjebak, menjinakkan dan mengembangkan jiwa kepemimpinan beserta tools soft skill lainnya.

Sebagai seorang yang memiliki pengalaman bekal organisasi yang cukup di sekolah (SMA), sungguh bahagia dan menyambut dengan suka cita dorongan kampus dan tawaran kakak-kakak untuk aktif di organisasi. Meskipun demikian, dalam diri ini hasrat untuk aktif di bidang ekskutif atau himpunan jurusan, atau organisasi yang sok-sok-an dengan maba cenderung tidak tertarik karena sudah bosan dan tak sepaham dengan model-model mental aktivis sok berkuasa kepada mahasiswa baru. Namun, hasrat untuk tetap berada di organisasi, hasrat ber-argumen, menyelesaikan masalah, bekerjasama, lelah bersama, tetap tinggi sebagai warisan dari sekolah yang pernah menjabat sebagai wakil ketua OSIS dan wakil ketua Takmir.

Beruntung, pada waktu-waktu maba, bertemu dan melihat kakak-kakak yang pake jaket dengan tulisan Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam. Kakaknya ramah-ramah, mbak-mbaknya, sangat baikkk. Ketika melihat mereka berkumpul, berbicara, dan tertawa, sungguh hati tersentuh, matanya, seakan tertulis ayat Al-Quran, mungkin saking seringnya berinteraksi dengan Al-Quran, tutur katanya lembut, penuh hikmah dan menyejukkan. Sebagai anak yang juga pernah mondok, ada ketertarikan untuk bisa memperdalam Islam disini, saling mengingatkan, dan mungkin saling berbagi. Akhirnya, diri ini memutuskan untuk beraktivitas di lembaga dakwah kampus (LDK). Mengawali mempelajari dan berkontribusi dari tingkat fakultas (SKI FIB), kemudian qadarullaah berlanjut di UKMKI.

Sungguh ekspektasi berada di LDK cukup tinggi, sebagai mahasiswa yang menghetahui tokoh-tokoh pahlawan muslim Indonesia, ingin rasanya bisa mengasah diri di LDK. Melalui sejarah, penulis mengetahui tokoh-tokoh muslim pahlawan bangsa besar dari organisasi, dan darinya dapat memberi banyak manfaat. Mbah Tjokro, dengan Sarekat Islamnya, telah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menginspirasi perekonomian nusantara dikala tekanan kolonial Belanda. H. Agus Salim, KH. Hasyim ‘As’ary, KH. Ahmad Dahlan, dan masih banyak lagi, besar dan membesarkan organisasi, kemudian darinya memberi banyak manfaat. Lalu pun demikian, hati saya berkata, saya bisa memulainya dari LDK, untuk mengasah kemampuan, memberi manfaat bagi sesama, dilingkungan terdekat, sampai mungkin bisa menjangkau yang jauh.

Namun, ekspektasi tak sesuai dengan realitas. Masuk LDK, ternyata masih banyak masalah yang harus segera diselesaikan. Alih-alih kita bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar kampus. Konflik khilafiyah, konflik furu’iyah, dan bahkan konflik kepentingan hanya untuk politik kampus yang praktis. Ketiga masalah tersebut menjadi masalah yang menghambat gerak dakwah menjadi tidak optimal. Dan mari kita urai satu permasalahan di LDK, kemudian solusi apa yang ditawarkan untuk perkembangan dakwah yang lebih masif dan inklusif, sehingga dapat memberi manfaat besar bagi pengurus LDK, lingkungan sekitar dan harapan luas untuk rakyat Indonesia.

Tulisan ini akan merangkum beberapa masalah LDK, dan solusi yang akan ditawarkan, yang pada saat bersamaan, solusi ini sedang diterapkan di kepengusan UKMKI 35 Universitas Airlangga.

Konflik Khilafiyah dan Furu’iyah

LDK merupakan organisasi mahasiswa Islam yang ada di internal kampus, dalam artian berada dalam naungan direktur kemahasiswaan, baik itu dalam hal pengawasan, pengembangan, dan pendanaan, dengan tujuan dapat memberikan fasilitas kegiatan ke-Islaman bagi mahasiswa muslim di kampus. Sedangkan mahasiswa muslim yang ada di kampus, memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang lahir dengan identitas Islam dari lingkungan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Tarbiyah, Salafi, Hizbuttahrir, LDII dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Dan dari lingkungan tersebut, setiap mahasiswa memiliki berbagai macam kebiasaan yang pasti akan sangat berbeda-beda diantara satu dengan yang lainnya. Bagi mahasiswa NU misalnya, terutama dengan anak yang santri, yang sudah pernah mondok di pondok pesantren selalu memiliki kebiasaan untuk mengawali kegiatan dengan tawasshul. Bertawasshul kepada para Nabi, para ulama, dan orang-orang shaleh, terutama kepada para kyainya di pondok, ga berkah kiranya jika tidak diawali dengan kegiatan tersebut. Belum lagi kegiatan shalawatan atau dhibaan, dan tahlil menjadi agenda wajib bagi mahasiswa NU untuk dilakukan. Begitupun dengan mahasiswa yang berlatang belakang harokah yang lain, tentu memiliki kebiasaan dan keunikan yang berbeda. Belum lagi masalah furu’iyah[1] dalam fiqh, qunut penting bagi golongan NU, sedangkan bagi sebagian yang lain tidak diamalkan, kesemuanya memiliki dasarnya masing-masing, dan masih sama menyembah Allah Subhanahu Wata’alaa. Masih sama-sama laa ilaaha illaallaaah !

Celakanya, di LDK ada sebagian yang baru mengenal belajar Islam, baru “hijrah”, kemudian dari sedikit ilmunya itu, sangat mudah menjustifikasi orang lain, yang berbeda dengan amaliahnya. Ada sebagian yang menganggap amaliahnya paling ideal, paling sunnah, paling benar untuk diterapkan, yang pada semua amaliah itu merupakan masih bagian dari cabang-cabang agama (furu’iyah) yang memang masih wajar untuk berbeda. Rendahnya pengetahuan Islam, kemudian ditopang dengan ghiroh pengamalan tinggi yang berbanding terbalik ghiroh ilmunya menimbulkan perpecahan dalam LDK. Misal, di LDK, berkaitan dengan jam malam, baik itu di grup sosial media seperti WA-atau Line, atau bahkan pada aktivitas syuro (rapat), ada sebagian pengamalan agenda tersebut wajib. Bahkan jika dilanggar seakan menjadi dosa besar bagi pelakunya. Dengan mudahnya orang-orang yang kaku dengan pemahaman diatas berkata “Pantesan aja acaranya gagal, la sering syuro malam, ga berkah acaranya”. Mengasosiasikan keberkahan dengan kegiatan syuro malam merupakan keegoisan yang terlalu berlebihan dalam kehidupan bersama di organisasi yang plural. Pun dalam tradisi mahasiswa NU tidak berkah kegiatan jika tak diawali dengan tawasshul. Maka, jika keangkuhan hal-hal kecil, yang bukan perkara Ushul dalam agama membuat kita pecah belah, lalu kapan kita menuju peradaban Islam yang selalu digaung-gaungkan menjadi seperti masyarakat madani, jika kita tidak bisa saling menghargai satu sama lain. Maka dari itu, perlu kiranya kita kaji lebih dalam lagi bagaimana konsep Ushul dan Furu’iyah dalam agama. Kemudian, kita sama-sama muhasabah diri, apa pantas LDK harus didominasi dan diseragamkan menjadi satu varian golongan saja.

Tentu, jika dalam tataran mahasiswa saja, sebagai contributor of change kita tidak bisa bersatu, tak mampu melihat maslahat dan manfaat yang lebih besar. Sungguh, kita tak layak mengatakan peradaban Islam!.

Konflik Kepentingan

Selain masalah golongan didalam LDK, ada lagi masalah konflik kepentingan organisasi mahasiswa ekstra kampus atau biasa disebut dengan ormeks. LDK merupakan organisasi internal yang cukup empuk untuk ditunggangi kepentingan ormeks supaya bisa meraih suara di politik kampus, baik itu difakultas bahkan di Universitas. Tak jarang, banyak dari ormeks jualan “isu-isu” tertentu untuk melanggengkan hasrat kepentingan. Hal yang sangat disayangkan kadang agama dibawa demi mendapatkan kepentingan tersebut. Disini penulis bukan berarti sekuler, memisahkan agama dengan politik. Hanya saja ingin mendudukkan permasalahan “kepantasan” agama yang dijadikan topeng untuk meraup kepentingan politik. Agama harusnya dijadikan nilai untuk berjuang menghidupkan kebaikan, bukan untuk menjatuhkan orang / golongan lain yang sama-sama aktivis organisasi Islam, kemudian memonopoli lebel Islam seakan yang paling lurus dan paling benar.

Supaya lebih jelas untuk memahami konflik kepentingan ormeks dalam LDK, penulis ingin memberikan ilustrasi sebagai berikut. Ada sebagian orang, alumni bahkan hehe, beranggapan LDK harus juga mengusai siyasi (politik), yaps sampai disini saya sepakat, kita harus kuasai tuh pemahaman terkait politik, karena dalam berbagai hal, kita tak lepas dari kebijakan politik. Tapi ternyata, tidak disitu yang dimaksud dengan sebagian kawan yang berkepentingan, LDK harus terlibat langsung dalam perpolitikan kampus, yang bekerjasama dengan salah satu ormeks, ndak bakal semua ormeks, karena dari mereka saling berfastabiqul khairat ingin mengusai kursi BEM ituuh. Nah biasanya LDK sangat dekat dan bersahabat dengan salah satu ormeks yang berhaluan Islam, saking dekatnya, bahkan LDK kehilangan jati dirinya yang seharusnya menjadi lembaga organisasi internal mengakomodir kebutuhan mahasiswa Islam dikampus, tiba-tiba menjadi organisasi mahasiswa yang sangat politis dekat salah satu ormeks. Akibatnya apa ? kepengurusan tidak sehat, konflik BPH, staff, bahkan tidak rukun dengan ormeks lainnya. Karena tidak dapat dipungkiri dalam LDK, ada berbabagai macam orang yang mungkin juga berormeks, berorganisasi ekstra kampus. Maka pasti, konflik itu akan terjadi. LDK, organisasi mahasiswa Islam internal yang ada dikampus yang seharus bisa bergerak bersama dengan ormeks-ormeks yang ada, malah menjadi organisasi yang diperebutkan untuk meraup dukungan, kepentingan perpolitikan praktis. Selain itu, posisi ketua LDK juga prestige, layak posisi ketua-ketua disemua organisasi, untuk dipegang supaya bisa dijual kepada para mahasiswa baru yang akan direkrut menjadi pengurus organisasinya, dijual dengan pragmatis, bahwa kader-kadernya telah menduduki posisi strategis diberbagai tempat.

Dampak konflik kepentingan ormeks dalam LDK cukup besar. Selain nantinya kepengurusan tidak sehat. Karena berebut kursi posisi bidang, pun juga akan berebut kegiatan program kerja, misal, memastikan tema kajiannya seperti ormeks yang diinginkan, pun nantinya mereka-mereka akan berebut pemateri yang akan di undang harus dari lingkarannya.

Maka dari itu, LDK, harus bersih dari kepentingan ormeks. Saya mengibaratkan, LDK itu bak keranjang buah-buahan. Jika LDK adalah keranjang buah-buahan, maka yang ada didalamnya ada semua buah-buahan. Tidak hanya ada satu buah-buahan saja. Tidak hanya dipegang dan dikontrol oleh satu ormeks. Karena jika demikian, berarti bukan lembaga dakwah kampus (LDK) lagi, tetapi lembaga dakwah ormeks (LDO). Kita harus memiliki paradigma LDK harus berdiri diatas semua golongan. Beragam ormeks, tapi visinya satu, yakni berukhwah, menghilangkan kepentingan didalam ormeks. Cukup disetiap ormeksnya mereka mencurahkan hasrat ormeksnya, jangan di LDK. Kita di LDK harus proporsional, harus adil, dan mengedepankan ukhwah, bukan dominasi dan penyeragaman.

LDK sebagai Rumah Ukhwah dan Inkubator Pergerakan

InsyaAllaah, tidak berlebihan jika saya menyebut LDK sebagai rumah ukhwah bagi pergerakan Islam. Sebagai lembaga internal, didalam sangat majemuk orang-orang yang terlibat, maka nilai-nilainya pun harus nilai-nilai yang umum, yang disepakati bersama dan tidak identik dengan ormeks-ormeks yang ada. Setiap ormeks memiliki ciri khas dan metode yang berbeda-beda, akan tetapi tujuan besarnya sama. Maka di LDK dari beragam latar belakang golongan, termasuk ormeks ber-ukhwahnya di LDK. Saling klarifikasi dan bekerjasama melalui sarana LDK. Sehingga gerak dakwah akan semakin besar jika sudah terbiasa bersama dari berbagai macam latar belakang golongan. Ditengah keringnya ukhwah antar golongan, LDK bisa menjadi oase dari gersangnya padang pasir ukhwah baik itu dilingkup mahasiswa yang nantinya menjadi masyarakat. Apalagi, mahasiswa sebagai kaum intlektual, sangat mungkin menjadi pemimpin di masyarakat, sangat diperlukan saling kenal dan terbiasa kerja bersama dengan beragam orang termasuk golongan ke-Islaman yang ada dikampus sebagai bekal kelak di masyarakat.

Sebagai inkubator pemikiran, LDK harus menghadirkan berbagai macam kegiatan yang dapat mempelajari beragam pemikiran yang ada. Sehingga sikap dan atau solusi yang dikeluarkan oleh LDK bukan sekedar ikut-ikutan trend atau intruksi dari patron, akan tetapi berdasarkan kajian mendalam dan didasari ilmu yang didapatkan dari berbagai macam pemikiran aktivis Islam.

LDK Adil dan Proporsional

Untuk mengatasi problematika diatas, perlu kiranya LDK harus adil dan proporsional dalam setiap aktivitas dan kebijakannya. Adil disini yang maksud adalah bijak dan memberikan kesempatan kepada siapapun untuk berkontribusi dan berkarya di LDK. Tidak memonopoli dan memaksakan standart kelompok tertentu untuk dilembagakan. Transparan dan mengedepankan akhlak ittiba’ nabi Muhammad SAW, serta selalu berhusnudzan kepada saudara seimannya. Ukhwah Islamiyah diatas segalanya dari pada memaksakan standart khilafiyah. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Imran, “Berpegang teguhlah kalian pada tali agama Allah, dan jangan berpecah belah..”. Menjaga ukhwah merupakan kewajiban, suatu hal yang ushul, sedangkan memaksakan kehendak atas keyakinan suatu amal yang khilafiyah, amal yang sunnah merupakan kesalahan yang amat sangat merugikan kita baik secara personal dan kelembaganaan di LDK.

Selanjutnya proporsional yang dimaksud adalah memberikan kesempatan yang sama dan seperlunya kepada golongan-golongan organisasi masyarakat (Ormas) Islam untuk ada di LDK. Misalnya, jika syiar bulan Oktober sudah mengundang ustazd dan materi ke NU-an, selanjutnya diagendakan untuk ormas Islam yang lain misal Muhammadiyah dan seterusnya. Dalam hal pengkaderan, menyusun kurikulumnya dengan proporsioanal dan semua harokah masuk sehingga kesan ukhwah dikedepankan dan kaya syarat khazanah keilmuan.

[1] Kaji lebih dalam konsep furu’ (cabang-cabang dalam agama) dan usul (hal yang fundamental dalam agama), yang sudah menjadi pemahaman umum bagi para ulama yang faqih terhadap agama. Sehingganya darinya kita bisa melihat persatuan dalam perbedaan, layaknya Imam Ahmad bin Hambal sangat menghormati gurunya Imam Syafi’I, padahal guru dan murid tersebut berbeda dalam penggunaan qunut pada shalat shubuh, dan masih banyak lagi, perbedaan yang furu’, namun masih bisa saling menghargai karena perbedaan yang masih wajar dan memiliki dasar masing-masing.

 

Ditulis Oleh Diki Febrianto

Ketua LDK UKMKI Universitas Airlangga

PM BAKTI NUSA 9 Surabaya