Madura & Budaya Khasnya

Sejarah perkembangan Madura dimulai pada kurun waktu antara 4000-2000 SM, saat terjadi perpindahan bangsa-bangsa secara besarbesaran dari Asia Tenggara. Nenek moyang manusia Madura berasal dari himpunan pecahan kelompok-kelompok yang melakukan perpindahan tersebut. Mereka melakukan perpindahan karena pesatnya perkembangan kebudayaan sehingga melakukan perluasan wilayah menuju ke arah selatan. Perjalanan itu memakan kurang-lebih waktu 2000 tahun lamanya. Sehingga pada suatu hari terdamparlah sebagian kelompok itu di sebuah pulau kecil Madura, letaknya di utara sebelah timur pulau Jawa. Selama bertahun-tahun lamanya, peradaban masyarakat Madura purba semakin maju dan berkembang, seiring perkembangan yang dialami bangsa-bangsa lain di Nusantara. Mulai dari tradisi budaya, pertanian, teknologi hingga pada kepercayaan/agama. Apa yang dikatakan Kuntowijoyo adalah benar bahwa Madura secara geografis, historis dan kultural merupakan bagian dari Jawa, sehingga dalam hal perekonomian sangat tergantung pada Jawa, terutama dalam wilayah produksi padi sebagai penyuplai makanan. Kemudian Madura dibagi menjadi dua yaitu Madura barat dan Madura timur. Madura barat terdiri dari Bangkalan dan Sampang, dan Madura timur terdiri dari Pamekasan dan Sumenep. Pada tahun 1857 wilayah Sampang belum termasuk bagian dari tiga wilayah kerajaan pribumi: Bangkalan di sebelah barat, Pamekasan di tengah, dan Sumenep di sebelah timur. Di tahun itu pula oleh Belanda nama Madura.

Madura terkenal dengan kekhasan dan keunikan nilai-nilai budaya. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan etnografi komunitas etnik lain. Latief Wiyata mengatakan bahwa kekhususan kultural itu tampak antara lain pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat figur utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagaman. Keempat figur itu adalah Buppa’, Babbu, Guru, ban Rato (ayah, ibu, guru, dan pemimpin pemerintahan).

Selain terkenal dengan budayanya yang khas, Madura juga terkenal dengan keunikan budaya yang dalam hal ini tampak pada perilaku dalam memelihara jalinan persaudaraan sejati. Hal ini tergambar dari ungkapan budaya oreng dhaddhi taretan, taretan dhaddhi oreng (orang lain dapat menjadi atau dianggap sebagai saudara sendiri, sedangkan saudara sendiri dapat menjadi atau dianggap sebagai orang lain). Bagi masyarakat Madura, persaudaraan tidak selalu identik dengan hubungan darah kekerabatan, tetapi juga pada pertemanan. Persaudaraan yang mungkin masih satu rumpun keluarga, dapat saja berubah menjadi permusuhan disebabkan adanya persoalan yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Relasi seperti itu, lalu secara kolektif biasa disebut dengan teman (kanca) dan musuh (moso). Teman merupakan relasi sosial dengan tingkat keakraban paling tinggi. Sebaliknya, musuh merupakan relasi sosial dengan tingkat keakraban paling rendah.

Masyarakat Madura juga dikenal dengan karakteristik yang menonjol, yaitu karakter apa adanya. Sifat masyarakat Madura ekspresif, spontan, dan terbuka. Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya terhadap perlakuan orang lain atas dirinya. Dengan karakteristik yang demikian, sebenarnya nilai-nilai budaya Madura membuka peluang bagi ekspresi individual secara lebih transparan. Bagi orang Madura harga diri merupakan nilai budaya yang hingga saat ini masih dijunjung tinggi. Harga diri adalah nilai yang mendasar bagi orang Madura dan menjadi ukuran eksistensi diri. Oleh karenanya, harga diri merupakan hal penting yang harus dipertahankan agar tidak direndahkan. Orang Madura yang dilecehkan harga dirinya akan merasa malo (malu) kemudian melakukan carok terhadap orang yang melecehkan itu. Pelecehan harga diri sama artinya dengan pelecehan terhadap kapasitas diri.

Demikian halnya dengan nilai kesopanan. Penghormatan orang Madura terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi. Begitu pentingnya nilai kesopanan sehingga terdapat banyak ungkapan yang berkaitan dengan hal tersebut. Misalnya ungkapan ta’tao batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar) mencerminkan suatu ungkapan bahwa seseorang belum pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah tinggal di pondok pesantren, sehingga tidak mengenal tatakrama atau kesopanan. Ungkapan ini ditujukan untuk orang-orang yang melanggar nilai-nilai kesopanan dalam masyarakat Madura.

Masyarakat Madura tidak dapat dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Islam dan Madura seperti dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan berhubungan dengan erat satu sama lain. Perilaku orang Madura begitu kental dengan ajaran-ajaran Islam. Ajaran-ajaran Islam memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembentukan nilai-nilai budaya masyarakat Madura.

Nilai-nilai Islam menjadi salah satu sifat yang mendefinisikan orang Madura, sehingga dengan demikian bahwa orang Madura pasti beragama Islam. Sebuah gambaran yang menunjukkan bahwa orang Madura berjiwa agama Islam terdapat ungkapan abantal syahadat, asapo iman, apayung Allah (dalam kehidupan mereka memakai syahadat sebagai alas kepala, berselimut iman, dan berlindung kepada Allah, niscaya akan selamat). Menghina agama sama halnya menyinggung harga diri (apote tolang), hukumnya adalah mati. Status seseorang bagi orang Madura dilihat dari kadar ke-Islaman yang melekat pada dirinya. Simbol agama Islam tertinggi yang dipakai sebagai patokan adalah kiai dan kemudian haji.

 

Abdul Rozak

PM BA 9 Surabaya