Berdasarkan Pasal 54 ayat 1 poin (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi yang membahas tentang Standar Pendidikan Tinggi secara implisit melatarbelakangi adanya kebijakan otonomi kampus, yang mana didalamnya menyatakan bahwa “Perguruan Tinggi memiliki keleluasaan dalam mengatur pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi”. Hal inilah yang menjadi landasan adanya kebijakan-kebijakan yang tidak berlaku secara nasional. Diantaranya adalah Kebijakan Kuliah 5 Tahun. Kebijakan ini tidak diterapkan pada semua Perguruan Tinggi di Indonesia, melainkan hanya pada beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) saja. Kebijakan ini juga dilandasi karena terbitnya Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi. Peraturan ini memuat tentang jangka waktu kelulusan maksimal bagi mahasiswa strata satu (S1) yaitu hanya dibatasi 5 tahun saja. Hal ini jelas tercantum di dalam Pasal 17 ayat 3 poin (d) Permendikbud tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Padahal, apabila mengacu pada Peraturan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, maka batas kelulusan bagi mahasiswa S1 adalah 7 tahun.
Ketimpangan Peraturan Menteri ini merupakan bukti bahwa adanya perbedaan persepsi dalam menentukan standar nasional pendidikan tinggi. Adanya kebijakan kuliah 5 tahun tentunya menuai berbagai perspektif, dalam hal ini mengacu pada persepsi pemerintah, birokrasi kampus dan juga mahasiswa.
Pemerintah memiliki persepsi berbeda mengenai kebijakan kuliah 5 tahun ini. Diantaranya melalui mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud Djoko Santoso dan mantan rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mengatakan bahwa alasan pemangkasan durasi masa studi tersebut berdasarkan hasil dari evaluasi kurikulum di perguruan tinggi. Hasil evaluasi tersebut menggambarkan bahwa kebijakan kuliah 5 tahun akan memberikan banyak dampak positif bagi mahasiswa, diantaranya memacu semangat belajar dan fokus dalam menyelesaikan tugas akhirnya. Hal inilah yang juga diharapkan oleh birokrasi kampus. Birokrasi kampus menginginkan mahasiswanya untuk segera menyelesaikan kuliah dan melanjutkan kuliah ke jenjang berikutnya atau langsung terjun ke dunia kerja pasca kampus. Hal ini juga dilandasi atas keprihatinan birokrasi kampus terhadap kondisi finansial mahasiswa, yangmana penerapan sistem UKT cukup memberatkan bagi mahasiswa tingkat akhir yang notabenenya hanya mengambil mata kuliah skripsi. Oleh karena itu, birokrasi kampus berdalih bahwa kebijakan kuliah 5 tahun dapat menjadi solusi terbaik untuk menekan biaya pendidikan mahasiswa.
Namun disisi lain, kebijakan kuliah 5 tahun sangat mempengaruhi kondisi wajah Perguruan Tinggi, seperti adanya perubahan yang signifikan dalam aspek pergerakan dan perpolitikan kampus. Selain itu juga terjadi penurunan minat berorganisasi di kalangan mahasiswa. Kondisi ini terjadi karena kebijakan tersebut secara tidak langsung telah melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang apatis, study oriented dan kemudian menjadikan dirinya sebagai cendikiawan oportunis. Oleh karena itu, kebijakan ini justru akan menjadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa yang aktif dalam kegiatan kemahasiswaan yang sering dijuluki sebagai seorang aktivis. Bagi mahasiswa yang memiliki jabatan struktural di organisasi kampus tentu akan mengalami kesulitan dalam menjalani kebijakan kuliah 5 tahun tersebut. Pada intinya, kebijakan tersebut berpotensi membatasi mahasiswa dalam berkarya di luar ruangan kelas. Maka implikasi dari kebijakan ini adalah terbatasnya ruang karya bagi mahasiswa dalam mengembangkan potensi dirinya dan hanya berfokus pada nilai IPK serta hanya berorientasi untuk segera lulus.
Mengutip perkataan dari Anies Baswedan, “IPK tinggi hanya mengantarkan kamu kepada wawancara, tapi pengalaman organisasi akan menentukan masa depanmu lebih cerah”. Pernyataan ini seolah menggambarkan bahwa pengalaman organisasi, kemampuan leadership dan pengembangan diri melalui organisasi sangatlah penting. Selain alasan organisasi, ketidaksepakatan terhadap kebijakan kuliah 5 tahun ini juga dikarenakan fasilitas kampus yang kurang memadai dalam proses perkuliahan, jumlah dosen pengajar yang tidak seimbang dengan jumlah mahasiswa, adanya kendala-kendala formalitas-administratif di kampus, adanya perbedaan tingkat kesulitan setiap fakultas yang mana rumpun saintek lebih sulit dibandingkan rumpun soshum, serta dipersulitnya proses penelitian dan bimbingan yang juga mempengaruhi mentalitas mahasiswa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan kuliah 5 tahun dalam berbagai perspektif baik dari perspektif pemerintah, birokrasi kampus maupun mahasiswa, pada dasarnya memiliki persepsi masing-masing tentang diberlakukannya kebijakan tersebut. Dibuatnya kebijakan tersebut sejatinya bertujuan untuk mendorong mahasiswa agar fokus pada perkuliahan dan segera lulus dari kampus. Namun, kebanyakan mahasiswa belum siap dengan penerapan kebijakan tersebut dikarenakan beberapa faktor internal maupun eksternal. Oleh karena itu, kebijakan kuliah 5 tahun ini juga memerlukan masa orientasi penerapan sekaligus penyesuaian sistem dengan kebijakan. Kebijakan kuliah 5 tahun ini bisa saja diterapkan apabila diimbangi dengan kebijakan lainnya. Misalnya birokrasi kampus menerbitkan kebijakan terkait penggantian sistem UKT dengan pembayaran per-SKS yang diperuntukkan bagi mahasiswa semester 9 keatas yang mana setiap SKS dihargai dengan Rp.100.000,-/sks. Dengan begitu, biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh mahasiswa tidak begitu besar dan demo-demo yang bernarasi tentang penurunan UKT bagi semester 9 keatas dapat diminimalisir. Selain itu, pemerintah, birokrasi kampus dan mahasiswa juga harus melakukan pembenahan. Pemerintah harus merapikan regulasinya agar tidak tumpang tindih, Birokrasi Kampus harus meningkatkan fasilitas dan kualitas pelayanannya, dan mahasiswa pun harus mampu meningkatkan kompetensi diri dan memaksimalkan perannya sebagai mahasiswa sehingga menciptakan sebuah harmonisasi dalam penerapan kebijakan kuliah 5 tahun di perguruan tinggi di Indonesia.