Masa itu pasukan Muslim begitu mengharu biru. Persia berhasil ditekuk mundur. Daratan Irak sepenuhnya berada di bawah naungan Madinah. Di Madinah, terdapat seorang Umar bin Khattab yang menjadi pemimpin umat, gelarnya Amirul Mukminin, pemimpinnya orang – orang mukmin.
Ketika situasi Irak telah tenang setelah perang, Umar mulai mengkondisikan keadaan daerah yang baru dibebaskan ini. Beliau mulai membangun pemerintahan disana. Musyawarah di Madinah memutuskan bahwa yang akan memerintah di Irak adalah pihak yang menang, yaitu pihak Muslimin. Hal ini berbeda pada masa Rasulullah dahulu yang menyerahkan urusan pemerintahan suatu kabilah kepada kabilah itu sendiri ketika kabilah tersebut menyatakan bergabung dengan Islam. Pertimbangan Umar dan hasil musyawarah Madinah didasari atas kekhawatiran akan pemberontakan yang muncul di Irak serta potensi serangan Persia merebut tanahnya kembali. Tetapi, adakah sistem pemerintahan ini akan sama dengan sistem pemerintahan Persia dan Romawi atas daerah yang mereka kuasai?
Jawabannya, coba kita perhatikan cara Persia dan Romawi, dengan cara Umar menguasai daerah.
Umar memutuskan untuk membuang jauh cara Persia – Romawi yang memberikan kekuasaan kepada militer, dan untuk penduduk asli tidak ada yang ditinggalkan kecuali sisa – sisa “kerakusan” pasukannya. Atau cara menguasai dengan memberikan kekuasaan kepada pejabat – pejabat mengeruk hasil bumi, dan bagi petani hanya disisakan remah – remah nya saja. Persis seperti cara Belanda dan Jepang di Indonesia, dan bangsa Eropa serta Amerika di tanah jajahannya. Nampaknya di setiap masa, cara menguasai negeri lain adalah seperti itu, upeti atau mati. Dan apabila cara tersebut sudah dianggap sebagai kodrat manusia yang menguasai manusia lain, maka cara Islam dan cara Umar, mungkin akan dianggap menyalahi kodrat.
Umar memerintahkan pasukannya untuk menjauhkan tangan dan senjata mereka dari penduduk Irak. Tanah tetap menjadi milik penduduk. Sejengkal pun tidak dirampas. Penduduk seluruhnya dijaga keamanannya, anak – anak bahkan ternak – ternaknya. Petani dibiarkan bertani, menjual dan menikmati hasil buminya. Penduduk Irak yang lari keluar dari Irak sewaktu perang dan ingin kembali lagi ke rumah, maka rumah mereka tetap dijaga sebagai haknya. Sementara pasukan berada dalam kawasan tersendiri, tidak tercampur aduk dengan penduduk. Satuan – satuan tentara disiapkan disana dan siaga untuk menghadapi perang dan pemberontakan. Dengan ini, maka tak ada anak – anak Irak yang ketakutan melihat tentara lalu lalang membawa senjata.
Umar mengutus orang – orang untuk mengelola zakat bagi penduduk Muslim sebagai kewajiban mereka. Dan menunjuk orang pula untuk menarik dan mengelola jizyah, yaitu iuran yang harus diberikan oleh penduduk non Muslim sebagai penyetaraan karena mereka tidak berkewajiban membayar zakat. Jizyah juga merupakan pengganti atas jaminan keamanan karena non Muslim tidak berkewajiban berperang di bawah panji Islam. Namun, apabila penduduk non Muslim ikut bergabung dalam pasukan perang di bawah panji Islam, maka mereka tidak berkewajiban membayar jizyah. Perintah Umar pun tegas, jizyah tak boleh memberatkan.
Fasilitas umum dibangun. Jalan – jalan dibuka. Pasar didirikan dan dikelola dengan sistem anti penipuan dan anti penimbunan untuk keuntungan. Irigasi diperbaiki. Rumah yang rusak akibat perang dibenahi. Dan bangunan yang rusak karena serangan dibangun kembali. Bahkan, agama penduduk yang tidak berpindah ke Islam tetap dilindungi. Kaum Majusi tetap aman beribadah. Untuk mengajak kepada agama Islam pun tanpa paksaan. Ini menunjukkan bahwa Islam disebarkan bukan dengan pedang. Islam disebarkan dengan dakwah. Sebuah negeri yang dikuasai Muslim maka tidak serta merta seluruh penduduknya wajib menjadi Muslim. Meng-Islamkan penduduk Irak tetap dengan dakwah. Berbeda dengan cara Persia – Romawi yang mewajibkan satu agama untuk seluruh daerah kekuasaan, yang menolak maka terusir atau mati.
Pembebasan dan Penjajahan
Umar menunjukkan sebuah kelas berpolitik yang tinggi. Kekuasaan haruslah membebaskan. Inilah mengapa dalam setiap ekspedisi pasukan Muslimin menuju garis terdepan wilayah lain disebut sebagai Misi Pembebasan. Daerah dalam imperium Romawi – Persia direbut kemudian dibebaskan dari penghambaan kepada sesama manusia. Inilah misinya. Penduduk haruslah disejahterakan. Hak mereka adalah tetap hak, dan kewajiban penguasa bukanlah bertindak sesukanya namun mengurus semaksimalnya.
Politik Islam adalah politik pembebasan. Dalam terminologi Islam, politik adalah siyasah. Siyasah berarti mengurus. Jauh berbeda dengan politik terminologi Barat yang berarti menguasai. Machievelli bahkan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Selalu ada kewajiban untuk mengurus dan menyejahterakan dalam setiap penguasaan. Bukan sekedar menebarkan ketakutan dan memerintah tanpa batas.
Sekarang, coba tilik Indonesia. Apakah selama ini kekuasaan dijalankan dengan tujuan membebaskan? Tanah Papua yang menjadi sengketa dengan Belanda dahulu diperebutkan. Indonesia dan Belanda berebut kekuasaan di sana. Jelas kita mendukung Indonesia. Karena Belanda sudah tentu tak berniat membebaskan. Namun, apakah pembebasan itu nyata dijalankan. Kekuasaan atas Papua diraih. Pemerintah memasukkan Pulau Irian ke dalam peta Indonesia. Namun, tanah mereka diserahkan kepada industri. Diambil emasnya. Kekuasaan diserahkan kepada pejabat, pengusaha dan pabrik asing, untuk dikeruk buminya. Penduduk asli hanya disisakan remah – remahnya, persis seperti Persia – Romawi. Maka, pemberontakan dimana – mana. Tentara disiap siagakan di desa – desa.
Petani Kalimantan dijadikan buruh untuk lahan sawit pengusaha. Lahan dibakar. Kekuasaan diberikan untuk dikeruk hasil tanahnya. Penduduk asli hanya disisakan remah – remahnya. Pemerintah terus mengkampanyekan pajak. Penduduk miskin dihukum seketat – ketatnya. Pemilik kuasa: Pejabat dan orang kaya, disembunyikan dari hukumannya. Tanah warga diambil paksa. Rumah – rumah digusur di kota – kota. Nelayan diambil pantai dan lautnya. Maka, apakah Indonesia masih melakukan kekuasaan untuk membebaskan?
Pelajaran Umar juga harus masuk menuju kekuasaan kampus. Perebutan kuasa mahasiswa harus ditujukan untuk membebaskan. Mereka yang menang harus membebaskan, menyejahterakan. Agar para “pemberontak” tak punya alasan logis untuk berulah. Semua yang sakit hati dengan kekuasaan sekarang, apakah kalian benar – benar punya tujuan untuk membebaskan kampus ketika berkuasa? Ataukah hanya enggan dipimpin orang yang bukan golongannya. Dan ketika diserahi kuasa, terlena dengan kekuasaan yang ada. Lupa membebaskan. Semua dilakukan sesukanya, mahasiswa lain diberi sisa – sisanya.
Maka saat ini belajarlah kepada Umar bin Khattab. Politiknya adalah kelas yang bukan manusia biasa. Barangkali OPM dan GAM muncul karena Pemerintah Indonesia lupa membebaskan Papua dan Aceh dalam kekuasaannya. Ataukah aktor pemerintah masih terkesima dengan politik kompeni Belanda? Dan lupa belajar kisah Umar? Maka apabila kekuasaan belum membebaskan, Indonesia tak akan bisa bersatu dengan bahagia. Slogan “NKRI Harga Mati” hanya akan menjadi slogan kosong. Mirip seperti slogan “Nippon cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia” milik Jepang. Berkoar sebagai pelindung namun malah menyakiti, mengaku cahaya namun membawa kegelapan, memimpin untuk mengeruk keuntungan. Nasionalisme akhirnya semu.
Dan mahasiswa haruslah banyak belajar orientasi politik yang mulia. Bukan hanya bangga dengan ideologi politik yang dibawa golongannya. Namun lupa akan tugas sebenarnya dari kekuasaan. Dan kemudian saling mencerca satu sama lain. Menghujat antara Kiri dan Kanan, bahkan Kanan dengan Kanan. Semuanya enggan saling belajar. Dan untuk mahasiswa yang omongnya berkata mau merubah zaman, pewaris peradaban, dan yang bangga menjadi tokoh politik kampus, adakah kita belajar kisah Umar, bahwa kekuasaan harulah membebaskan?
Daftar Pustaka :
Haikal, Muhamad Husain. 2003. Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu. Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa