Jiwa Toleransi sebagai Bukti Cinta Generasi Masa Kini Pada Ibu Pertiwi

Ku lihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati. Kini ibu sedang susah, merintih dan berdo’a

(Ismail Marzuki)

            Sepenggal lirik lagu nasional berjudul Ibu Pertiwi yang ditulis oleh Ismail Marzuki menggambarkan dengan jelas bagaimana keadaan negeri ini, keadaan hati sang Ibu Pertiwi. Ia menahan pedih melihat kondisi bangsa, merintih terluka dan berdo’a pada Sang Maha Kuasa agar kiranya Tuhan sembuhkan dukanya dengan segera.

Indonesia terdiri atas beragam suku bangsa, agama, budaya, bahasa, sumber daya alam, flora serta fauna. Keanekaragaman inilah yang membuat Indonesia mahsyur diantara negara-negara di dunia. Pancasila sebagai landasan hidup masyarakat Indonesia berfungsi sebagai payung yang menaungi berbagai perbedaan agar dapat menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Selain itu, persatuan masyarakat Indonesia ditopang kuat oleh semboyan hidup Bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika, artinya meskipun berbeda tetapi tetap satu jua. Jiwa Pancasila dan kebhinnekaan harus tertanam kuat pada jiwa-jiwa manusia Indonesia agar persatuan dan kesatuan negeri ini tetap terjaga.

Kondisi masyarakat Indonesia saat ini semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila dan jiwa kebhinnekaan, terlihat dari semakin lunturnya rasa toleransi dan saling menghargai. Hal tersebut dapat terlihat dari semakin maraknya persoalan dan tindak kriminal akibat rasa intoleransi. Mayoritas tindak intoleransi yang terjadi dilatarbelakangi oleh isu keagamaan. Portal media online IDN Times1  mencatat beberapa kasus intoleransi di sepanjang tahun 2018, diantaranya perusakan sebuah pura di Lumajang oleh orang tak dikenal, penyerangan terhadap ulama di Lamongan, perusakan Masjid di Tuban, ancaman bom di Kelenteng Kwan Tee Koen Karawang, serangan Gereja Santa Lidwina Sleman, persekusi terhadap Biksu di Tangerang dan dua serangan brutal terhadap tokoh Islam di Bandung. Tindakan yang sudah pasti melukai hati Ibu Pertiwi.

Berbagai permasalahan menyangkut keberagaman sudah selayaknya terjadi di dalam masyarakat yang majemuk. Masyarakat harus mampu bersikap lebih dewasa dan lebih toleran menghadapi perbedaan. Persoalan toleransi dapat diselesaikan dengan dua pendekatan yang tak terpisahkan, yaitu dari aspek praktis dan teoritis. Aspek praktis toleransi menekankan pada kehidupan nyata dimana semua anggota masyarakat dengan sadar menerima segala perbedaan yang ada. Aspek teoritis toleransi berkaitan dengan gerakan pencerahan untuk membentuk pola pikir masyarakat yang baru. Toleransi hanya dapat terwujud apabila seluruh masyarakat berkontribusi aktif dengan keyakinan dan dedikasinya yang tulus.

Toleransi adalah dasar dari terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis. Jiwa toleransi harus dimiliki setiap manusia Indonesia. Keindahan Indonesia datang dari perbedaan bukan persamaan. Perbedaan yang disatukan oleh ikatan persaudaraan dan rasa toleransi. Islam sebagai Rahmatanlil’alamin mengajarkan umatnya untuk saling menghargai dalam perbedaan. “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laik-laik dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal” (QS. Alhujurat: 11). Indah bukan ayat tentang toleransi tersebut?. Begitupun agama lain yang pasti mengajarkan umatnya untuk saling menjaga dan mengasihi dalam perbedaan.

Toleransi adalah obat dari luka yang diderita Ibu pertiwi akibat intoleransi para generasi penerus negeri. Dengan toleransi, jiwa Pancasila berlandaskan rasa Kebhinnekaan yang mulai luntur akan tegak kembali. Toleransi, sebuah bahasa universal pemersatu bangsa, wujud cinta pada generasi masa kini untuk sang Ibu Pertiwi.

 

1 Wijaya, R., 2018. Kasus Intoleransi dan Kekerasan Beragama Sepanjang 2018. available at: https://www.idntimes.com/news/indonesia/rochmanudin-wijaya/linimasa-kasus-intoleransi-dan-kekerasan-beragama-sepanjang-2.

 

Oleh : Riza Agung Ismadi