Di abad 21 pasca perang dingin, perang konvensional telah berkurang secara signifikan. Dewasa ini, perang konvensional bergeser kepada tren perang “modern” baik dalam bentuk perang dagang maupun perang informasi atau biasa disebut dengan cyber war. Dunia yang berubah dan perang yang tidak lagi sama menimbulkan pertanyaan kritis apakah negara masih terbawa akan tendensi dilema keamanan, dimana secara konseptual dapat didefinisikan sebagai kecenderungan untuk meningkatkan kapasitas militer yang didoronng oleh kenaikan kapasitas militer negera lain? Dalam tulisan ini, penulis akan menjelaskan argumentasi penulis mengenai dilema keamanan dalam politik internasional ke dalam 2 kategori analisis. Argumen pertama akan menjelaskan bagaimana konflik internasional masih mengarahkan negara untuk mempraktikkan dilemma keamanan. Kedua, penulis akan menjelaskan bagaimana keadaan stabil atau ketiadaan konflik tetap saja mengarahkan negara untuk tetap meningkatkan kapasitas militer sehingga kembali membuat dilema keamanan baru.
- Konflik Internasional dan Praktik Dilema Keamanan
Salah satu konflik internasional yang hari ini masih dalam proses perundingan adalah Laut China Selatan. Laut China Selatan dianggap strategis karena laut ini merupakan jalur ekspor impor yang menurut Reuters (yang dilansir oleh Tirto.id) yang transaksinya dapat mencapai USD 5 triliun per tahun (Tirto,2016). Tingginya nilai yang dapat dan stategisnya laut ini menjadi alasan mengapa negara-negara di ASEAN seperti Filipina, Brunei Darusalam, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan bersedia berkonflik untuk mendapatkan akses ke laut ini. Selama konflik, China sebagai negara yang lebih besar dari pada negara-negara di ASEAN, menunjukkan agresitasnya di Laut China Selatan dengan membangun banyak proyek milter. Salah satunya dengan mereklamasi terumbu karang yang diubah jadi 10 pulau di Kepulauan Spratly. Berdasarkan investigasi Asia Maritime TransparencyInitiative (AMTI), reklamasi ini dimaksudkan sebagai pangkalan milter bagi China. Pangkalan ini mencakup fasilitas pertahanan udara, radar, helipad, dan mercusuar (Tirto, 2016).
Tindakan agresif China, kemudian direspon oleh nagara-negara di kawasan (yang berkonflik) dengan meningkatkan anggaran militer selama 10 tahun terakhir, khususnya di sektor angkatan laut. Laporan IHS Jane’s Fighting Ships pada 2015 menjelaskan kenaikan anggaran untuk sektor angkatan laut di ASEAN berkisar 150 persen dibanding 2008. Hal yang sama juga dikonfirmasi oleh pengamat militer dari Nanyang University Singapore, Richard A. Bitzinger. Fakta lain yang dapat mendukung kenaikan anggran militer ini dikarenakan oleh konflik laut China Selatan adalah adanya tren pembelian kapal selama 5 tahun terakhir seperti Malaysia yang membeli dua kapal selam dari Prancis tipe Scorpene dan Vietnam yang membeli enam kapal selam kelas Kilo dari Rusia (Tirto,2016). Pembelian ini memang bukan tanpa alasan dimana kapal selam memang dianggap lebih efektif untuk melakukan patroli laut, ketimbang kapal patroli biasa.
Dilema keamanan tidak hanya terjadi dalam praktik konflik langsung melainkan juga dari konflik tidak langsung, misalnya nuklir. Sebagai senjata yang sangat mematikan, eksistensi nuklir sebagai senjata pemunsah masal sangat mengkhawatirkan bagi kestabilan dunia internasional. Salah satu negara yang berkonflik secara tidak langsung terkait nuklir adalah AS dan Korea Utara. Korea utara yang menarik diri dari Non-ProliferationTreaty (NPT) sejak tahun 2003 dan memilih mengembangkan senjata nuklirnya sendiri, membuatnya harus menerima sanksi ekonomi AS. Akan tetapi, pada faktanya justru pengembangan nuklir Korea Utara memberikan ancaman keamanan bagi AS dan menggiring AS untuk masuk pada dilema keamanan. Balistik Korea Utara yang bisa dipasang hulu ledak nuklir tersebut bisa terbang sejauh 13.000 kilometer, dan diklaim mampu menjangkau ke seluruh daratan utama AS membuat AS meningkatkan anggran lebih-kurang US$ 4 miliar atau sekitar Rp 54,1 triliun (Tempo, 2017). Disusul oleh Jepang, yang juga meningkatkan anggaran militernya sebesar sebesar 5,19 yen Jepang, atau Rp 625 triliun. Angka itu lebih besar dibanding 2017 yang mencapai 5.12 triliun yen Jepang, atau sekitar Rp 617 triliun untuk menangkal kekuatan nuklir korea Utara (Kompas, 2017).
Dari pola konflik laut china selatan dan konflik nuklir dapat disimpulkan bahwa dilema keamanan masih terjadi secara praktik di abad 21 ini. China yang ingin mengamankan teritorial sengketa dengan meningkatkan aktivitas pembangunan kapasitas militer akhirnya mempengaruhi persepsi negara rivalrinya dengan juga ikut meningkatkan kapasitas militernya. Hal ini terjadi, karena berdasarkan teori dilema keamanan bahwa kenaikan kapasitas militer suatu negara adalah ancaman dari negara lain. Ancaman ini pun direspon dengan menaikkan anggaran dan kapasitas militer, sehingga hal ini nantinya juga dilihat sebagai ancaman sehingga perlomabaan anggaran militer akan selalu terjadi tanpa ujung. Inilah mengapa dalam 5-10 tahun terkahir kita dapat memperhatikan bagaimana dilema keamanan terjadi secara praktik di kawasan konflik laut China Selatan dan dilema nuklir.
2. Dilema keamanan dalam situasi absen konflik
Jika sebelumnya dapat diperhatikan terdapat konflik langsung yang menyebabkan negara masuk pada praktik dilema keamanan, maka pada ketiadaan konflik langsung pun negara dapat tetap masuk pada praktik dilema keamanan. Hal ini disebabkan oleh adanya aktor non negara yang membuat proyeksi ancaman terhadap negara yang akhirnya direspon dengan kenaikan anggaran dan kapasitas militer. Pada saat AS mengalami serangan 9/11 AS meluncurkan kebijakan luar negeri Global War on Terror, yang dimanifestasikan lewat perang AS di Irak, Suriah, Afganistan dan Pakistan, serta peningkatan pengeluaran untuk keamanan dalam negeri dan departemen pertahanan, negara dan urusan veteran sejak serangan 9/11 telah menghabiskan lebih dari 4,3 triliun dalam dolar saat ini hingga tahun 2017(Tirto,2017). Tidak hanya AS, tentu kenaikan anggaran ini mempengaruhi negara-negara lain yang terkena dampak traumatik dari aksi terror tersebut sehingga dilema keamanan juga terjadi.
Selanjutnya, dilema keamanan juga terjadi karena adanya kejahatan seperti pembajakan atau pencurian di teritorial suatu negara khusunya laut. Kekayaan laut atau kapal barang yang melintasi lautan sering sekali dijagal oleh pembajak. Akibatnya banyak kekayaan laut atau negara dirampas oleh oknum terkait. Kembali, respon negara tidak lain akan meningkatkan kapasitas militer tipe patroli untuk menjaga teritotial demi alasan kedaulatan. Hal ini dapat dilihat dari debat capres Indonesia 2019, dimana salah satu calon mengajukan proposal kenaikan anggaran militer karena lemahnya pertahanan Indonesia Hal ini didasari bukan karena potensi konflik langsung , melainkan kejahatan transnasional.
Epiglog
Walaupun dunia telah memasuki abad 21, dilema keamanan masih saja tetap terjadi. Hal ini membuat pandangan realisme yang mengatakan bahwa perdamaian adalah kondisi yang mustahil masih perlu diperhitungkan hingga hari ini. Adanya konflik didalam kondisi stabil membuat negara tidak dapat memilih opsi lain, selain meningkatkan kapisitas militer. Akhir kata, ditengah dilema keamanan “baru” di abad 21 ini, masihkah kita sibuk mendebatkan isu-isu politik identitas saja ?
Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Andalas sekaligus founder ADS (Andalas Debating Society)
REFERENSI :
“Tragedi 9/11 dan Perang Abadi AS Terhadap Teror”, https://tirto.id/tragedi-911-dan-perang-abadi-as-terhadap-teror-cXUA.
Jepang Naikkan Anggaran Militer untuk Tangkal Korea Utara”, https://internasional.kompas.com/read/2017/12/16/11071891/jepang-naikkan-anggaran-militer-untuk-tangkal-korea-utara.
Berlomba Mempercanggih Armada, Bersiaga Menghadapi Cina”, https://tirto.id/berlomba-mempercanggih-armada-bersiaga-menghadapi-cina-xF.
Hadapi Korea Utara, Trump Tambah Anggaran Pertahanan Rp 81,2 T https://dunia.tempo.co/read/1031853/hadapi-korea-utara-trump-tambah-anggaran-pertahanan-rp-812-t