Tahun 2019 merupakan tahun dimana rakyat Indonesia sedang berpesta. Ya, pesta demokrasi. Masyarakat merayakannya dengan berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan kedaulatannya sebagai rakyat sang penentu siapa yang akan menduduki kursi-kursi kepemimpinan, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.
Sudah selayaknya pesta ini dilaksanakan dengan perasaan senang akan lahirnya kepemimpinan baru di Indonesia yang diharapkan akan membawa perubahan yang lebih baik untuk negeri tercinta, Indonesia.
Hari demi hari berjalan. Kondisi politikyang memanas sangat wajar mewarnai sebuah pesta demokrasi. Namun, kondisi mulai berubah ketika pengumuman pemenang pemilu disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada pihak yang merasa tidak mendapatkan keadilan dan merasa tercurangi dalam proses pemilu 2019.
Puncak dari perasaan pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu tersebut adalah dengan diadakannya aksi di depan gedung Bawaslu pada 22 mei 2019. Aksi ini berjalan dengan damai, namun pada malam hari aksi yang digelar berujung ricuh dan memicu korban jiwa. Tercatat ada 300 orang terduga perusuh dan 58 orang terduga provokator.
Akibat aksi yang berujung ricuh tersebut tercatat 8 orang meninggal dunia, 462 orang luka ringan, 76 orang luka serius, 96 orang belum mendapat keterangan, 93 orang mengalami gangguan psikis non-trauma. Dari korban tersebut 170 orang korban usia dibawah 19 tahun dan 294 orang korban usia 22-29 tahun. Terakhir, yang jadi korban adalah sila ke 3 pancasila, Persatuan Indonesia.
Apakah ini yang dinamakan pesta? Tentu saja bukan!. Pesta seharusnya berakhir dengan bahagia, bukan dengan jatuhnya korban jiwa. Pesta seharusnya berakhir dengan suka ria, bukan dengan darah rakyat Indonesia.
Apabila tidak puas dengan hasil oleh KPU, bisa menggunakan jalur-jalur konstitusional, sehingga apabila pihak yang merasa dirugikan kalah, maka mereka akan kalah dengan cara yang lebih terhormat.
Hening sejenak, mengingat masa lalu Gus Dur pernah berkata, jangan sampai hanya karena jabatan, darah masyarakat Indonesia yang menjadi tumbalnya. Rasa-rasanya hal ini sangat relevan dengan kejadian jatuhnya banyak korban pada aksi 22 mei 2019 lalu.
Jauh sebelum itu, Bung Karno pernah berkata “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Benar pula rasanya apa yang dikatakan oleh Bung Karno, sang proklamator kita.
Fanatik terhadap sesuatu yang disukai boleh-boleh saja. Sangat wajar dalam dunia demokrasi. Namun, fanatik itu hanya untuk diri sendiri atau kedalam in-gropnya, kalau keluar untuk orang lain atau out-groupnya adalah toleransi.
Jika kondisi Bangsa Indonesia seperti ini terus menerus, sangat wajib hukumnya kita sebagai generasi penerus bangsa ini meminta maaf kepada para pahlawan, para pejuang kemerdekaan, yang telah berkorban segalanya untuk memerdekakan bangsa ini.
Sebentar lagi, 1 juni kita merayakan Hari Lahir Pancasila. Malu apabila kita memberi kado peringatan Hari Pancasila dengan perpecahan dan pertumpahan darah. Rakyat sudah seharusnya cerdas jangan sampai mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang punya kepentingan memecah belah bangsa ini.
Pemerintah harus hadir membersamai masyarakat, dan aparat keamanan hadir dalam mengayomi masyarakat. Dengan momentum Hari Pancasila ini marilah kita jadikan ajang refleksi bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar karena keberagamannya, bangsa yang kuat karena persatuannya, dan bangsa yang maju karena karyanya.