Sistem Pendidikan dan Dampaknya pada Pendidikan Karakter

“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, kurang jujur itu sulit untuk diperbaiki.

– Bung Hatta

Mengutip dari salah satu qoutes yang pernah disampaikan oleh bapak proklamator Indonesia, Bung Hatta, mengenai kejujuran, membuat saya berpikir lebih dalam, terutama tentang realita integritas yang terjadi pada sistem pendidikan kita di negeri ini. Lahir pada sebuah keluarga sederhana yang cukup paham tentang agama islam, membuat saya tidak asing lagi pada pendidikan, terutama pada pendidikan karakter. Kenapa bisa begitu? Alasannya sederhana, dengan segala keterbatasan ekonomi, orangtua saya ingin agar saya bisa mengangkat derajat keluarga saya ke tingkat yang lebih baik, tetapi juga tidak menghilangkan nila-nilai luhur keislaman. Solusinya, saya dimasukkan ke sebuah pesantren di daerah Kuningan, Jawa Barat untuk menempuh pendidikan islami, di sini lah saya akhirnya mendapat pengajaran tentang akhlak dan ilmu-ilmu agama yang menjadi landasan saya saat menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Di lingkungan pesantren ini, saya mempelajari kemuliaan adab sebelum berilmu, dimana kita sebagai manusia harus lah belajar terlebih dahulu tentang cara bersikap yang baik, entah dengan teman sebaya maupun dengan ustad dan kyai. Adab yang baik akan membawa keberkahan pada setiap ilmu yang didapat karena akan menghasilkan ilmu yang bermanfaat. Meskipun dalam lingkungan yang homogen, ternyata tidak seluruh santri bersikap dan beradab secara baik, tidak sedikit dari mereka yang tetap menunjukkan perilaku yang buruk, seperti mencuri, berkata kotor, berbohong, dan sebagainya. Ini tentulah kontras dengan nilai-nilai dan adab kepesantrenan yang dipelajari santri. Hal inilah yang menjadi salah satu awal pertanyaan saya tentang integritas dalam sistem pendidikan kita : Mengapa hal ini terus terjadi ? Seberapa berhasilkah sebetulnya pengajaran akhlak yang diberikan sekolah dalam membentuk karakter siswa mereka?

Setelah lulus dan mulai menapaki dunia perkuliahan, saya menyadari bahwa kampus berisi anak-anak pintar dari berbagai latar belakang. Namun, seringkali pintar ini tidak dibarengi dengan perilaku yang baik, bahkan cenderung pintar dalam membodohi orang lain. Lingkungan kampus yang heterogen dan sistem mata kuliah yang cenderung “membebaskan” memberikan dampak yang tidak sedikit bagi perkembangan pendidikan karakter mahasiswa. Meskipun banyak yang pintar, banyak mahasiswa malahmemiliki perangai yang buruk. Mencontek saat ujian menjadi hal yang biasa, joki tugas dan skripsi juga seolah sudah menjadi rahasia umum bagi mahasiswa maupun dosen. Perilaku ini bukan hanya mencemari integritas akademisi, tetapi juga berdampak pada kurangnya motivasi belajar, berpikir kritis, dan daya tahan mahasiswa dalam mengahadapi tekanan ke depannya. Hal ini tentu tidak lepas dari bagaimana mereka mendapat pembelajaran budi pekerti di jenjang sebelumnya. Mengapa jenjang sebelumnya? Karena pada masa ini-lah perilaku dan karakter seseorang di bentuk. Sistem pendidikan kita yang sangat fokus pada nilai di banyak bidang keilmuan, membuat pendidikan karakter terasa terabaikan. Sekolah cenderung mengukur keberhasilan siswa dengan nilai pelajaran yang tinggi dibanding dengan bagaimana siswa mampu mengembangkan sifat sosial yang baik, misalnya. Padahal, salah satu fungsi pendidikan adalah mendidik siswanya menjadi manusia yang bermartabat dan berbudi luhur untuk membangun peradaban yang lebih baik di masa depan.

Pada akhirnya, sistem pendidikan di Indonesia haruslah dievaluasi kembali. Sosialisasi, edukasi dan kolaborasi sangat diperlukan antara orang tua, guru dan lembaga dalam memecahkan masalah ini.