Desa mawa cara, negara mawa tata.
Kalimat diatas cukup merangkum perdebatan mengenai pembangunan masif yang tengah dikembangkan dengan dalih pemerataan pembangunan diberbagai lini, termasuk salah satunya adalah desa. Namun satu hal yang perlu digarisbawahi untuk menjadi bahan kontemplasi, apakah pemerataan pembangunan berkemajuan cukup kompatibel dengan desa itu sendiri?
Perbedaan cara pandang atas relasi desa-kota ini sudah berlangsung cukup lama, puncaknya adalah ketika Orde Baru. Ketimpangan perspektif ini juga besar kaitan dan pengaruhnya di koridor pembangunan. Seringkali ada pandangan bahwa desa yang maju hanya dilihat dari sisi pembangunan fisik. Ini merupakan pandangan yang keliru. Pemerintah lagi-lagi meromantisasi pembangunan dan menjadikan kota menjadi kiblat ‘kemajuan’. Pemerintah seharusnya sudah mafhum untuk menegasikan pandangan kotasentris dalam mendefinisikan pembangunan bagi desa.
Dalam konteks pembangunan, sudah selayaknya menempatkan desa dan masyarakat desa sebagai subyek bukan lagi obyek pembangunan. Desa dan masyarakat desa tentu memiliki imaji tersendiri terhadap pembangunan berkemajuan yang mereka inginkan. Hal ini bahkan secara sadar didukung penuh melalui Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 yang secara substansif dirangkum melalui asas rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal-usul, dan asas subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Tapi bilamana berkaca dan mengevaluasi mengenai pola pembangunan akhir-akhir ini, bukankah secara tidak langsung imaji pemerintah terhadap pembangunan sudah mengahapuskan kuasa desa atas wilayahnya sendiri?
Agar kesejahteraan masyarakat desa mencapai hakiki (salahsatu tujuan pembangunan) ini tercapai, tentu pemerintah harus secara lugas dan tegas memberikan kewenangan, kekuasaan, dan keleluasaan masyarakat dan pemerintah desa atas imaji mereka sendiri mendefinisikan pembangunan. Melalui cara ini, tentu konsep pembangunan akan sangat kompatibel dengan desa itu sendiri.