4 Catatan GM Pendidikan Dompet Dhuafa untuk Kebijakan BOS
JAKARTA – Sabtu (15/2), bertempat di Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, MNC Trijaya menghelat gelar wicara akhir pekan bertajuk Polemik. Tema yang diangkat pada gelar wicara tersebut adalah “Skema Dana BOS, Kenapa Diubah?” Sederet ahli dan praktisi pendidikan pun diundang untuk berdiskusi bersama pada acara tersebut. GM Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa, Asep Sapaat, turut hadir mengungkapkan gagasannya.
Selain Asep, empat narasumber lainnya adalah Ade Erlangga Masdiana (Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat, Kemendikbud), Ledia Hanifa Amaliah (Anggota Komisi X DPR RI), Kresnadi Prabowo Mukti (Kasubdit Dana Alokasi Khusus Nonfisik, DJPK, Kemendikbud), dan Didi Suprijadi (Ketua PB PGRI Masa Bakti XXI & Pembina Federasi Guru dan Tenaga Honorer Swasta Indonesia).
Pada diskusi interaktif tersebut, Asep memaparkan empat catatan pentingnya terkait kebijakan dana BOS saat ini. Pertama, Asep menyoroti tentang penggunaan dana BOS yang mayoritas masih bersifat fix cost. Menurutnya, dana BOS selayaknya tidak hanya menjadi biaya reguler yang dikirim dan digunakan sampai habis.
“Dana BOS mesti dipahami sebagai biaya investasi yang mesti diukur capaian perubahan yang dikehendaki dari kebijakan tersebut. Oleh karena itu, mestinya ada parameter perubahan yang terukur sebagai dampak dari kebijakan dana BOS ini,” ujar Asep.
Kedua, dirinya memberikan catatan tentang dana BOS yang langsung ditransfer ke sekolah. Menurut Asep, hal ini menjadi ujian penting terhadap kepemimpinan dan kemampuan manajerial kepala sekolah untuk mengelola dana BOS. Terutama pengelolaan untuk kebutuhan peningkatan kualitas layanan pendidikan kepada peserta didik.
“Dari aspek kepemimpinan, apakah kepala sekolah memiliki integritas agar tak ada penyelewengan? Selain itu, kredibilitas kepala sekolah juga diuji dalam konteks pemanfaatan BOS untuk meningkatkan capaian kinerja sekolah dalam berbagai aspek. Seperti hasil belajar peserta didik, pengembangan profesionalisme guru berkelanjutan, kualitas pembelajaran, dan sebagainya,” lanjut Asep.
Ketiga, Asep juga mengomentari tentang kebijakan meningkatkan persentase porsi anggaran untuk gaji guru honorer. Menurutnya, kebijakan tersebut tak otomatis akan menyejahterakan guru honorer. “Guru honorer akan sejahtera jika kebutuhan pokok hidupnya terpenuhi dan pengembangan dirinya sebagai guru profesional terus berkembang secara berkelanjutan,” ungkap Asep.
Terakhir, Asep mengutarakan gagasannya tentang kriteria sekolah penerima dana BOS. Gagasannya ini didasari oleh studi Reeves (2006) tentang posisi dan pemetaan sekolah. Reeves mengungkapkan ada empat kategori sekolah. Kategori pertama disebut sebagai Sekolah Beruntung. Sekolah ini memiliki tingkat keberhasilan tinggi, namun tak memiliki strategi penentu hasil. Akibatnya, sekolah seperti ini sulit mengulang keberhasilan di masa silam.
Kategori kedua adalah Sekolah Kalah, yaitu sekolah dengan tingkat keberhasilan rendah dan tak memiliki strategi penentu hasil. Berikutnya, Sekolah Belajar. Sekolah ini memiliki tingkat keberhasilan rendah, namun sudah memiliki strategi penentu hasil. Sekolah Belajar berpotensi untuk terus berkembang di masa mendatang.
Kategori terakhir dinamai Reeves dengan Sekolah Memimpin. Sekolah dalam kategori ini memiliki tingkat keberhasilan tinggi yang diraih karena efektivitas strategi penentu hasil. Menurut Asep, sekolah-sekolah yang layak menerima dana BOS adalah mereka yang masuk dalam kategori Sekolah Memimpin ini.
Dirinya pun kemudian menjelaskan tentang konsekuensi logis yang harus dilakukan oleh kepala sekolah pada kategori ini, setelah menerima dana BOS. “Konsekuensi logisnya, kepala sekolah di kategori Sekolah Memimpin mesti melakukan alih pengetahuan dan keterampilan kepada Sekolah Kalah, Sekolah Belajar, dan Sekolah Beruntung,” papar Asep.
Dalam fase tertentu, menurut Asep, jika ketiga sekolah lainnya sudah memiliki kapasitas kepala sekolah dan sistem yang mapan dalam pengelolaan program dan anggaran sekolah, dana BOS bisa ditransfer langsung. “Intinya, kita tak bicara soal besaran dana dan juknis penyaluran BOS, tetapi membangun kapasitas institusi sekolah dalam mengelola dana tersebut,” pungkas Asep. (NRS)