“Yang sabar, ya.”
“Kamu pasti kuat.”
Mungkin kata – kata tersebut yang bakal kita lontarkan apabila ada kawan kita yang mengalami kasus kekerasan seksual. Baru – baru ini ramai kasus Agni dari UGM dibicarakan oleh publik. Banyak respon yang mendukung dan memberi semangat, namun tidak jarang juga yang menghina. Tapi bagaimana sebenarnya para penyintas kasus kekerasan seksual mengatasi trauma yang mereka miliki?
Akhir bulan lalu, film 27 Steps of May akhirnya tayang di bioskop komersial di Indonesia. Film ini bercerita bagaimana si tokoh utama, May, menghadapi trauma yang dimilikinya karena pernah mengalami kekerasan seksual di masa SMP. Secara tidak langsung, film ini mengajak masyarakat untuk lebih terbuka dan melihat bagaimana para penyintas kasus kekerasan seksual melanjutkan hidup, daripada menyerang personal para penyintas.
Film dimulai dari bagaimana May menjalani hidup. Rutin dan teratur. Kebiasaan sama dari bangun hingga tidur lagi. Semuanya tepat waktu. Rutinitas yang sama adalah yang membuat May mampu bertahan. Rutinitas yang sama adalah yang membuat May merasa terlindungi.
Film ini juga mengingatkan kita bahwa yang terkena dampak dari kasus kekerasan seksual bukan hanya para korban, namun juga keluarganya. Lukman Sardi yang memerankan tokoh Bapak membuat para penonton merasakan bagaimana perasaan bersalah yang dirasakan si tokoh Bapak. Tidak memiliki tempat berbagi karena sang istri sudah meninggal, menjadikan tinju satu – satunya tempat untuk si Bapak meluapkan emosinya.
Film berjalan dengan statis, menceritakan kebiasan May setiap hari. Perubahan mulai terjadi ketika May bertemu pesulap di belakang rumahnya. May memiliki dunia baru yang menarik. Perubahan juga terjadi pada rutinitasnya sehari – hari. Dari bangun terlambat, karakter boneka yang dibuatnya, hingga May akhirnya mau dan mampu melahap makanan yang tidak berwarna putih. Perubahan tersebut juga membawa kebahagiaan sendiri untuk si Bapak.
Namun seperti layaknya perjuangan, tidak ada yang berjalan mulus. Sedih rasanya ketika kita mencoba berjuang untuk melawan trauma malah ada orang yang bermaksud menghancurkan proses tersebut. Sama halnya ketika May dengan segala perkembangan positif yang mulai dilakukannya, ternyata ada saja orang yang merusak proses kesembuhannya dan membuat May harus kembali pada traumanya.
Hingga satu – satunya cara untuk melawan trauma adalah dengan menerima dan menghadapi kenyataan. Adegan ketika May mencoba mereka ulang kejadian kekerasan seksual yang dialaminya menjadi titik balik baginya, bahwa tidak ada jalan lain selain menerima kenyataan dan membuka kehidupan yang baru.
27 Steps of May adalah langkah – langkah yang harus dilalui May untuk akhirnya keluar dari kungkungan rasa takut dan traumanya lalu akhirnya berjalan ke luar.
Tentu saja tidak semua penyintas menghadapi trauma mereka sama dengan apa yang dilakukan May. Namun setidaknya dengan melihat perjuangan May menghadapi traumanya membuat kita mengalihkan pandanga, alih – alih menilai dan memarahi kepribadian para penyintas, hendaknya kita mendukung dan menemani para penyintas ini berjuang melanjutkan kehidupan mereka dengan trauma masa lalu yang mereka miliki.
Dukungan yang bisa kita berikan juga adalah dengan dorongan pada pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS. Dengan adanya peraturan hitam di atas putih, akan membuat para penyintas kasus kekerasan seksual semakin terlindungi dan terjamin nasibnya.